23. UNGKAPAN
Naya berada di kafe milik Daffa yang masih menjadi tempatnya bekerja. Sebenarnya, Dean sudah melarang Naya untuk bekerja. Dean akan memenuhi semua kebutuhan Naya. Tetapi, gadis itu tetap menolak. Ia justru mengambil alasan, bekerja paruh waktu bisa dijadikan pengalaman untuk masa depan.
Gadis itu sudah memakai apron merah muda dengan rambut dicepol rapi jadi satu. Bekas luka di dahinya beberapa hari yang lalu sudah mulai samar. Jadi, ia tak perlu memakai plaster luka lagi. Naya menengok jam dinding yang terletak di dekat rak berisi bunga-bunga kecil. Masih pukul 9 malam. Tentu saja kafe ini sedang ramai-ramainya.
Naya meletakkan nampan di meja dapur. Ia menghela napas melihat notif 10 panggilan tak terjawab dan lebih dari 15 pesan masuk. Ia berkenyit bingung saat itu semua adalah Galen pelakunya.
Naya akan membalas pesannya, namun ketika ia mulai mengetik, sebuah panggilan masuk begitu saja dengan nama Galen lagi yang tertera. Naya hendak menggeser tombol hijau di layar ponsel itu, tetapi ia tak sadar bahwa gerak jarinya malah membuat tombol merah yang tergeser. "Eh?" Naya melotot. Tangannya mulai berkeringat dingin.
"Duh, kok salah pencet, sih?" gumamnya frustasi. Ia buru-buru menekan tombol telepon berwarna hijau untuk menghubungi Galen lagi.
Nomor yang anda tuju sedang sibuk....
Naya menghela napas. Mungkin, Galen tadi hanya salah tekan. Tetapi, melihat log panggilan yang beruntun berisi nama Galen, membuat perasaannya gelisah. Apa yang sedang terjadi dengan cowok itu?
Naya tersentak ketika tangan seseorang memegang bahunya. Ketika ia menoleh, Daffa lah pelakunya. "Ada apa, Daf?"
Pemuda itu tersenyum. "Kaget banget. Lo kenapa kok kaya gelisah?" Naya menggeleng samar. "Kalo lo capek, istirahat dulu gak apa-apa. Masih banyak pelayan lain."
Naya sontak menggeleng cepat. "Eh, enggak-enggak. Aku gak capek, kok. Ya udah, aku lanjut lagi ya?" Naya menunduk ketika hendak melewati Daffa. Baru saja ia melangkah dua kali, Daffa menahan bahunya. Naya berbalik dan menatapnya penuh tanya. "Ada apa?"
Bukannya menjawab, Daffa justru menatap Naya tanpa jeda. Mungkin, selain Naya, seseorang bisa mengartikan dengan yakin kalau tatapan itu adalah isyarat akan datangnya asmara. Tetapi, Naya justru keheranan. "Daf," panggil Naya membuat Daffa mengedipkan mata.
Daffa tersenyum kecil bisa melihat teman sekelasnya itu sedekat ini. Dalam benaknya, ia tak henti-hentinya merasa kagum bahwa kecantikan Naya sangatlah murni. Ralat, Naya tidak cantik seperti kebanyakan cewek di sekolahan. Namun, gadis itu justru memiliki aura manis, tenang, lembut, dan ... entahlah! Daffa meraup wajahnya kasar.
"Daf, kamu kenapa? Kok aneh?"
Daffa menggeleng. "Salah gak, Nay, kalo gue suka sama lo?" Naya mengerjap berkali-kali seolah perkataan itu hanyalah sebuah mimpi. Tidak ada angin, tidak ada hujan, bibir Daffa tiba-tiba melontarkan kalimat itu?
Naya terkekeh. "Hah? Astaga, Daf. Kamu ini ngomong apa, sih? Kamu lagi latihan mau ngungkapin perasaan ke cewek, ya?"
Daffa melongo beberapa saat melihat respon Naya. Ia jadi gugup sendiri untuk memperjelas semuanya. "Nay, gu-"
"Eh, ada pelanggan lagi, Daf. Aku lanjut kerja dulu, ya. Semoga sukses sampai jadian," kata Naya tersenyum lebar, lalu meninggalkan Daffa dengan perasaan berkecamuk.
Daffa cengo melihat langkah Naya kian menjauh dari tempatnya. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Dianggep bercanda?" gumamnya. Ia tak habis pikir. Menghembuskan napas kasar, akhirnya Daffa menuju ruang pribadinya. Ternyata, memperjelas semuanya tidak semudah ketika ia berekspektasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
EPIPHANY (End)
Teen Fiction_Berawal dari kesalahpahamanku, di antara kita terjadi sebuah temu. Kamu berhasil memupuskan segala mimpiku. Dan denganmu juga aku menemukan jawaban dari pertanyaan panjangku. Kamu adalah titik terangku._ ____________ Nauraya atau gadis yang dikenal...