17. KEJUJURAN
Naya tidak tahu harus melakukan apa. Ingin maju untuk memisahkan dua orang itu, yang ada malah ketakutannya semakin membara.
"KAK GALEN, BERHENTI!" jeritnya.
Bukannya berhenti, Galen melirik Naya sekilas. Seolah ia mengisyaratkan agar Naya menjauh dari tempatnya. Naya kalang kabut. Gadis itu tak mungkin membiarkan perkelahian ini terus terjadi.
"Kak, Naya mohon ... berhenti," katanya lemah. Bahkan, tangannya pun sudah kembali gemetar.
Galen memejamkan matanya sejenak. Ia melihat pria yang sudah babak belur di bawahnya ini dengan seksama. "Lo, jangan macem-macem sama dia!" tekannya. Pria itu memegangi dadanya setelah Galen beranjak walaupun tangan Galen masih mencengkeram kerah bajunya.
"Lo suruhan siapa?" Galen mengintimidasi. "Apa lo juga yang waktu itu nabrak gue sama dia di jalan?" Pria itu nampak mengernyit kebingungan.
"Nabrak?" beonya. "Saya bahkan gak tau apa-apa tentang itu."
"Tapi lo disuruh buat nyelakai dia, kan? Ngaku lo, bangsat!" Galen melayangkan sebuah bogeman lagi pada rahangnya. Sontak, Naya menjerit lagi melihatnya. Gadis itu tentu tidak heran kalau tenaga Galen tak ada habisnya, karena ia sudah tahu kalau cowok itu seorang petarung di atas ring.
Pria di bawah Galen itu terus menghindar. "Saya jujur tidak tahu apa-apa soal itu," katanya.
Galen berdecih. "Lo dari tadi mandangin dia. Buat apa lo nguntit dia kalo gak ada maksud apa-apa," ujarnya.
"Tapi saya gak pernah disuruh buat nyelakain dia," tegas pria itu. Galen menyatukan kedua alisnya. Dia bisa melihat ada nada yakin ketika pria itu berkata. Galen akhirnya berdiri, membiarkan pria berpakaian formal itu bernapas lagi.
"Kalo gue lihat lo macem-macem sama dia lagi, jangan harap nyawa lo masih ada detik itu juga," ancam Galen tak segan-segan sambil membogem perut pria itu sebelum akhirnya dia menarik lengan Naya dan mengajaknya pergi.
Naya yang semula hanya mematung, saat ini pun juga ikut pasrah. Ia menurut saja Galen membawanya ke mana. Tetapi, sadar dia harus segera ke kafe, Naya akhirnya berkata, "Kak, hari ini Naya kerja. Anterin ke Kafe Wonka, ya?" pintanya.
Di balik helm, Galen melirik Naya sekilas lalu mengangguk. Mereka akhirnya menerobos jalanan raya beriring perjalanan matahari yang mulai kembali ke tempat peraduannya.
***
Di sepanjang perjalanan, Galen dan Naya saling membisu, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mata elang Galen tetap fokus mengarah pada jalan di depannya. Sedangkan Naya, hanya berdiam sambil memandangi punggung tegap cowok di depannya."Kak, yang tadi itu...." Ia ingin bertanya, tetapi ragu. Hingga Galen akhirnya menjelaskan semuanya.
"Gue mau ngomong sama lo yang sebenarnya. Tapi, lo harus janji, jangan marahin gue," kata Galen.
Naya termenung sejenak. Marah? Ia kembali merespon Galen. "Marah gimana maksud Kakak? Emang Naya pernah marah sama Kakak?" Bahkan, buat nolak permintaannya aja aku takut.
Galen terkekeh di balik helmnya. Ia berdeham sejenak, lalu mulai mengatakan apa yang sedang terjadi. "Gue tau apa yang sebenarnya sedang terjadi sama lo." Naya sedikit memajukan kepalanya agar bisa mendengar dengan jelas.
"Lo masih inget, kan, waktu gue ngajak lo ke pertunangan itu dan gue jadiin lo sebagai pacar pura-pura gue?" tanya Galen.
"Iya, Naya ingat."
Galen menghembuskan napas berat. Mau tak mau, Naya secepatnya harus tahu. "Kakek gue marah karena gue ngacauin semuanya." Jeda sejenak, lalu Galen melanjutkan, "gue yakin semuanya emang bakal terjadi kaya gini. Siapapun seseorang yang udah jadi alasan buat gue nolak perjodohan itu, maka dia yang akan kena hukumannya. Awalnya, gue ngira, dengan bawa cewek kaya lo, mereka gak bakal nentang kemauan gue. Tapi nyatanya...."

KAMU SEDANG MEMBACA
EPIPHANY (End)
Teen Fiction_Berawal dari kesalahpahamanku, di antara kita terjadi sebuah temu. Kamu berhasil memupuskan segala mimpiku. Dan denganmu juga aku menemukan jawaban dari pertanyaan panjangku. Kamu adalah titik terangku._ ____________ Nauraya atau gadis yang dikenal...