9. PENJELASAN
Naya duduk di sudut ruangan dapur rumahnya. Ketika matanya melihat jam sudah menunjukan pukul 06.30, ia kembali menitikkan air mata. Ibunya sangat tega memperlakukannya seperti ini.
"Kenapa Naya gak boleh sekolah, Bu?" tanya Naya di sela isakannya.
Agatha berkacak pinggang, seraya menatap anaknya itu dengan malas. "Sudah sadar apa kesalahan kamu?" Jari lentiknya kini mencengkeram kuat dagu Naya. Membuat pemiliknya meringis kesakitan.
"Tapi, Bu ... semalem Naya ada kelompok dadakan. Naya gak kerja karena memang ada alasan," tutur Naya meminta pengertian ibunya.
"Apa peduli saya? Kamu pulang gak bawa uang itu termasuk kesalahan terbesar buat saya," tegas Agatha membuat hati Naya sesak.
Dengan bibir gemetar, Naya berkata, "Ibu sendiri selalu ngebiarin aku cari uang sendiri sejak SMP, terus juga Ibu yang udah ngehabisin tabungan Naya di celengan ayam."
PLAK!
Satu tamparan mendarat mulus di pipi Naya. "Siapa yang ngajarin kamu ngomong kaya gitu?" Agatha menatap Naya penuh kebencian. "Kamu itu cuma pembawa sial bagi saya. Kamu lahir buat ngehancurin impian saya. Kurang ajar sekali kamu ngomong kaya gitu ke saya."
Bahkan, saat marah seperti ini, Agatha sudah melupakan statusnya yang menjadi seorang ibu bagi Naya.
"Beri Naya alasan, Bu! Sebenarnya apa maksud Ibu yang selalu mengatakan bahwa Naya cuma pembawa sial. Katakan, Bu! Kenapa Ibu bisa berpikir seperti itu?" Dengan sempoyongan, gadis bertubuh ringkih itu mencoba berdiri. "Hiks ... padahal, selama ini Naya selalu berusaha menjadi yang terbaik buat Ibu. Biar bisa bahagiain Ibu. Walaupun masa remaja Naya harus terenggut oleh hal itu."
Melangkah maju, Agatha menarik kasar rambut panjang Naya. Membuat gadis itu meraung kesakitan disertai tangisannya. "Andai kamu gak lahir, hidup saya jauh lebih baik. Andai kamu lahir menjadi laki-laki, hidup saya jadi sempurna," ungkap Agatha.
"Naya gak ngerti," ucap Naya lirih.
Agatha benar-benar bersikap lebih dari kasar kepada putrinya sendiri. Sebagai seorang ibu, seharusnya ia memiliki insting yang cukup untuk bisa memahami perasaan Naya. Namun, rasa bencinya itu sudah melapis hingga ia tak bisa menerima kehadiran Naya di dunia ini. Agatha selalu emosi ketika melihat Naya lemah dan tak bisa membuatnya puas.
"Perlu saya ceritain, bagaimana hidup saya setelah lahirnya kamu?" Agatha mendesis tajam. "Dan andai saja kamu lahir berjenis kelamin lelaki, pasti Ayah kamu juga masih hidup sampai sekarang."
Agatha baru saja melahirkan. Keringat yang membasahi seluruh badannya itu menjadi saksi pengorbanannya melahirkan nyawa seseorang. Semua orang yang berada di luar ruangan, menunggu kabar dari bidan yang menangani persalinan Agatha.
"Selamat ya, Pak, Bu. Anaknya perempuan. Cantik dan sehat," ucap Bidan tersebut.
Seperti ada yang menghantam dadanya, Arya dan Agatha saling bersitatap.
"Perempuan?" gumam Agatha sembari menatap suaminya dengan was-was.
"Sudah, jangan dipikirin. Kita pasti bisa jaga putri kita. Ayah pasti akan bisa menerima putri kita seiring waktu." Seolah paham dengan tatapan istrinya, Arya berusaha memberi ketenangan padanya.
"Tapi...." Agatha hendak berbicara. Namun, suara pintu yang dibuka dengan keras membuatnya bungkam.
"Sudah saya bilang, kalau saya butuh cucu laki-laki. Bukan perempuan yang pastinya lemah seperti dia." Seorang lelaki tua menunjuk bayi di samping Agatha.

KAMU SEDANG MEMBACA
EPIPHANY (End)
Novela Juvenil_Berawal dari kesalahpahamanku, di antara kita terjadi sebuah temu. Kamu berhasil memupuskan segala mimpiku. Dan denganmu juga aku menemukan jawaban dari pertanyaan panjangku. Kamu adalah titik terangku._ ____________ Nauraya atau gadis yang dikenal...