24. TERKAAN

53 13 21
                                    

*Kalian tim putar mulmed pas baca, apa enggak?

24. TERKAAN

Naya berdiri di depan rumah kakeknya. Ia menatap langit malam yang nampak ceria. Berbeda dengan hati gadis itu. Naya masih sangat merasa bersalah, sekalipun Daffa tidak memaksa agar dia membalas perasaan cowok itu.

Naya menoleh ketika mobil Dean keluar dari garasi. Ia segera menghampirinya dan masuk ke dalam sana. Malam ini, Naya akan bertemu dengan Agatha. Meskipun ia masih sedikit trauma dengan apa yang Agatha lakukan padanya, tetapi Naya tetap merindukan ia sebagai seorang ibu.

Sepanjang perjalanan, Naya hanya memandang ke luar. Membiarkan dinginnya angin malam meniup sebagian wajahnya karena kaca mobil tak sepenuhnya ditutup. Melihat itu, Dean berdeham. "Naura, apa yang sedang kamu pikirkan?"

Naya menggeleng pelan. "Gak ada, Kek. Naya cuma pengin cepet ketemu ibu."

"Ngomong-ngomong, temen Kakek punya cucu seumuran kamu juga loh," ujar Dean menatap Naya tersenyum.

Gadis itu menghela napas. Ia sudah tahu bahwa yang Dean bicarakan ini adalah Daffa. Naya menatap kakeknya sangsi. Sedikit menebak-nebak, apa tujuan Dean membicarakan cowok itu. "Daffa, kan, Kek?" tanya Naya, langsung.

Dean pun mengangguk. "Kamu sekelas, kan, sama dia?"

"Iya."

"Dia anak yang baik, juga pekerja keras." Naya sedikit was-was mendengar Dean berbicara dengan nada seperti itu. Dean menoleh, lalu tertawa melihat ekspresi Naya.

"Sudah Kakek duga kalau kamu pasti mikir macam-macam." Naya semakin mengernyit mendengar perkataan Dean. "Tenang, Ra. Kakek juga pernah muda yang tentunya tau rasanya tersiksa kalau dijodoh-jodohin. Kakek bilang kaya gini, cuma ya ... siapa tau aja kalian cocok."

Naya mengerucutkan bibirnya. "Kek, Nay sama Daffa itu temenan." Sungguh, Naya sangat terusik dengan topik pembicaraan ini.

Dean sontak tertawa. Pria tua itu memang masih memiliki jiwa muda. Dan Naya pun merasa nyaman walau sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Naya sungguh berbeda dari kebanyakan orang. Biasanya, orang lain akan susah menerima kehadiran seseorang yang telah menelantarkannya.

"Temenan ya, Ra? Padahal, semuanya kan memang berawal dari itu, Ra," kata Dean membuat Naya bersemu. Gadis itu malah teringat awal perkenalannya dengan Galen. Sama sekali bukan dengan cara baik. Justru, dari sebuah kesalahpahaman. Naya menahan tawanya ketika sebuah bayangan masa lalu terputar.

"KAKAK! JANGAN LAKUKAN ITU!"

"Gue gak suka sama orang yang berani ikut campur,"

Saat itu, Galen benar-benar seperti monster kejam. Nyali Naya menciut hanya dengan melihat sorot matanya. Dan membandingkannya dengan Galen yang sekarang, membuat Naya merasa ... gemas.

"Kakak jangan bunuh diri ya?! Kasihan, mukanya ganteng. Sayang banget kalo harus jadi jasad malam ini."

Dean mengernyit heran melihat cucunya malah tersenyum-senyum. "Naura, kamu sehat?"

Naya langsung tersentak. "Eh? I-iya, Nay sehat kok, Kek," jawabnya sembari menyengir. "Oh iya, Kek. Kenapa Kakek manggilnya 'Nauraya'? Nay lebih nyaman dipanggil 'Naya', Kek."

Dean mengangguk menuruti. "Baiklah, Kakek manggil kamu 'Naya' saja. Padahal, dulu sebelum kamu sama ibu kamu angkat kaki dari rumah Kakek, ibu kamu kasih tau Kakek kalau nama kamu, 'Nauraya'."

"Kek," panggil Naya menatap Dean ragu.

Pria tua itu menoleh. "Iya?"

"Kenapa dulu Kakek gak nganggep Naya ada? Apa bener gara-gara Nay lahir gak berjenis kelamin laki-laki?" Dean mematung. Ia bisa melihat sorot terluka Naya.

EPIPHANY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang