26. PENGKHIANATAN?

55 11 17
                                    

26. PENGKHIANATAN?

Malam ini, Galen sudah bersiap dengan setelan kaos pendek putih dipadu celana jeans hitam. Ia menyambar jaket levis yang tergantung di dekat pintu kamar. Memandangi penampilannya dari cermin, ia pun berdecak. Rasanya aneh sekali. Bahkan, Galen lupa bagaimana menetralkan sikapnya. Entah ini terlalu excited atau memang dia sedang dalam mode good mood.

Galen yang baru saja keluar dari kamarnya, langsung disambut seorang gadis kecil berambut panjang yang sedang membawa boneka teddy. Galen menghela napas lalu tersenyum. "Ada apa, Ka?"

Siska meringis lucu. "Cika boleh main cama Kakak?"

Galen membeliakkan matanya. Ia menggaruk kepalanya sembari mengedarkan pandangan. Mungkin Galang sedang sibuk hingga membiarkan Siska merasa terabai seperti ini. "Kak Galang gak ada?" tanya Galen memandang gadis kecil itu. Siska menggeleng, bibirnya pun mengerucut lucu.

"Aduh, tapi Kak Galen mau ke luar dulu, Ka. Nanti aja ya, mainnya?" pinta Galen penuh harap. Ia memandang jam tangannya. Sudah hampir jam 8.

"Cika pengin main cama Kak Galen. Ayooo, bental aja, hiks," ujar Siska lalu menangis. Galen tersentak melihat bocah kecil itu terisak. Astaga! Dasar anak kecil. Galen bingung harus melakukan apa. Bi Irah pun datang. Wanita paruh baya itu mencoba membujuk Siska.

"Non Siska sama bibi aja, ya? Kak Galen mau ke luar. Nanti kalo udah pulang, Non Siska bisa main sama Kak Galen," ujar Bi Irah dengan lembut.

Galen mengangguk. "Nah, gimana kalo nanti pulangnya Kakak beliin permen. Siska suka permen, kan?"

Mata Siska berbinar. "Cika cuka banget cama pelmen." Galen menghembuskan napas lega mendengarnya. Namun, selang beberapa detik, kelanjutan kalimat Siska membuatnya ingin menjedotkan kepala. "Tapi Cika mau main cama Kak Galen. Pokoknya main! Hwaaa papa ...."

Galen memejamkan matanya erat mendengar tangisan meraung itu. Ia menghembuskan napas kasar. Melihat mata gadis kecil itu berkaca-kaca, dengan bibir mungil yang mengerucut, serta hidung yang kembang-kempis berwarna merah muda, Galen jadi tidak tega hendak meninggalkannya. Sepertinya, naluri seorang kakak sudah mulai mengalir. Cowok itu berjongkok di depan Siska, mengusap pelan pipi tembamnya.

"Ya udah. Kak Galen main sama Siska dulu. Tapi jangan lama-lama, ya? Kak Galen ada janji sama seseorang," ujar Galen berusaha tak membuat Siska menangis lagi.

Siska mengangguk lucu. "Ceceolang? Pacal Kak Galen, ya?"

Galen melotot mendengarnya. Dari mana Siska tahu tentang hal seperti ini? Galen tersenyum canggung. Ia mengusap tengkuknya. Tidak mau membuang waktu lebih lama lagi, Galen akhirnya membawa Siska dalam gendongannya. Membawa gadis kecil itu ke kamarnya, sesekali menggigit gemas pipi Siska yang membuat gadis kecil itu berteriak.

"Kak Galen kaya nyamuk, hwaaaaa!"

"Kok nyamuk?"

Siska menatap Galen takut. "Cuka gigit Cika gak bilang-bilang." Galen dibuat tertawa kencang mendengar jawaban itu. Dadanya kian menghangat. Gadis kecil ini, adiknya. Dan dia telah membuang kesempatan untuk bisa menemaninya sejak masih bayi.

Satu setengah jam berlalu, Galen membaringkan Siska di kasur kamarnya. Gadis kecil itu menggeliat ketika pergerakan Galen membuatnya terusik. Melihat Siska benar-benar terlelap, Galen akhirnya merasa lega.

Cowok itu menaikkan selimut berwarna monokrom miliknya untuk menutupi sebagian badan Siska. "Jangan bangun ya, bocil! Abang mau main dulu," ujar Galen lirih penuh nada kegemasan.

Setelah pamit pada bi Irah, ia pun segera melesat pergi ke garasi mengambil motornya.

"Permainan akan segera dimulai," gumam Galen kemudian menutup kaca helmnya.

EPIPHANY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang