22. PERDAMAIAN

52 14 34
                                        

22. PERDAMAIAN

Galen duduk termenung di balkon kamarnya. Suasananya masih sama. Berbaur dengan kerinduan yang semakin lama membuncah dalam dada. Galen merindukan wanita yang biasanya akan membelai kepalanya di tempat ini, ketika Aldo memarahinya. Suara ayam jantan mulai menggema sesekali ketika jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Galen masih terjaga. Jujur, tidur di atas ranjang yang sudah terasa asing ini, sangat membuatnya tersiksa.

Ia masih terngiang apa yang Galang tadi katakan padanya.

"Seiring waktu lo bakal bisa nerima semuanya, Gal. Lihat Siska, dia adik kita. Papa, kakek, semuanya juga akan berubah, Gal. Sorry lo pasti iri sama gue yang bisa dapetin penuh kasih sayang mereka. Tapi setelah ini, gue pastiin lo juga bakal hidup di tengah keluarga yang bener-bener bisa nerima lo. Lo tetap jadi adik gue, Gal. Gue pengin lo kembali.

Tak sadar, Galen mencengkeram erat pembatas besi pinggir balkonnya. Kepalanya mendongak, menghantarkan netra untuk menatap langit gulita. Suasana sepi dan tenang ini, justru membuat pikirannya penuh. Bayang-bayang di mana Aldo yang terlihat mengabaikannya, Zen yang ternyata menjadikan ia mesin harta, dan dua saudara yang nampak asing dengannya.

Galen menghela napas berat. Mungkin, ini sudah waktunya ia berdamai. Mungkin, cukup sampai sini saja ia harus merasa terabai. Karena selanjutnya, sekalipun Aldo kembali sifat lamanya, ia akan tetap mencoba bertahan. Ia akan tetap menerima kenyataan bahwa mereka semua adalah keluarganya. Harta berharga yang Galen miliki. Lagipula, Galen sudah beranjak dewasa.

Lelaki itu memejamkan mata, membiarkan sarayu menerpa muka. Perlahan, semua jeratan yang ia buat sendiri dalam dirinya, ia lepaskan dengan penuh ketulusan. "Apapun yang terjadi, gue akan tetap mencoba. Gue bisa. Gue harus bisa menerima semuanya."

***

Setelah insiden mengerikan yang menimpa Naya, Galen yang mulai mencoba beradaptasi dengan keluarganya, hari ini mereka masuk sekolah seperti biasa. Biasa dalam artian seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.

Naya melangkahkan kaki kecilnya menuju kelas. Tangan gadis itu memegang tali tas punggungnya. Rambut yang hanya ia kuncir sederhana, berayun seiring langkahnya.

Sesampainya ia di perbatasan koridor kelas IPA dan IPS, seseorang menghadang langkahnya. Mata gadis itu membeliak ketika menangkap badge kelas berwarna merah. Ia perlahan mendongakkan kepala. "Kak Galen?"

Galen tersenyum sembari menaik-naikkan sebelah alisnya jahil. "Apa cantik?" Bukannya tersipu, Naya justru melotot heran.

"Kak ...."

"Iya," kata Galen dengan suara lunaknya. Naya meringis kikuk. Ia menggaruk tengkuk ketika suara yang Galen ciptakan tadi berhasil membuat bulu kuduknya meremang.

"Ngapain Kakak di sini? Bentar lagi masuk, loh. Jangan kebiasaan bolos lagi, Kak. Beberapa minggu lagi Kakak ujian, mau kelulusan," ujar Naya, cerewet. Galen yang mendengarnya justru langsung menyandarkan punggung pada dinding di dekatnya. Menatap Naya sembari bersedekap di depan dada.

Galen mengangguk berulang kali. "Udah selesai ceramahnya ustadzah?"

Naya bersungut. Ia menukikkan alis pertanda kesal. Dengan sekali hentakan kaki, gadis itu pun berbalik dan melanjutkan langkahnya ke kelas. Tetapi, belum sampai ia melangkah, tangan usil Galen menarik ujung rambutnya. Otomatis Naya hampir terjembab ke belakang. "Astagaa, sakit, Kak!" keluh Naya.

"Lagian enak aja lo main ninggalin gue," balas Galen. Lelaki itu belum melepas tangannya di rambut Naya. Ia justru menarik-narik seperti orang yang sedang mengendalikan kuda dengan talinya. Melihat Naya terus memberontak, ia akhirnya merasa kasihan juga. Galen melepas tangannya, lalu beralih memegang bahu Naya. Sedikit paksaan, Galen memutar tubuh gadis itu agar kembali berhadapan dengannya.

EPIPHANY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang