21. KERINDUAN

71 13 34
                                        

21. KERINDUAN

Hari ini, hari libur. Usai Galen menjenguk Naya yang masih berada di rumah sakit, ia memutuskan untuk segera menemui kakek dan ayahnya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus cepat menghentikan aksi kegilaan mereka yang membuat Galen selalu merasa, lebih baik tidak dilahirkan saja.

Motor Galen memasuki pekarangan rumah sang kakek. Semalam, ia tak pulang karena menemani Naya. Ya, Galen memaksa agar ia bisa menemani Naya setiap saat. Mengingat tentang apa yang ia lakukan semalam, senyum Galen refleks terulas. Dia memang tidak sendirian. Ada Deanㅡkakek Nayaㅡyang juga menemani Naya. Tetapi, Galen merasa hidupnya benar-benar bermanfaat untuk semalam.

Tanpa mengetuk pintu, Galen langsung saja masuk karena ia tahu pintunya tidak dikunci. "Kek!" panggil Galen.

Ia melemparkan jaketnya di sofa ruang tamu. "Kakek!"

Tidak ada sahutan, Galen pun berinisiatif berjalan menuju taman belakang. Biasanya jam segini Zen menghabiskan waktunya untuk bersantai di kursi goyang sambil menyesap kopi. Dugaannya benar. Galen langsung menemukan Zen di sana. Tetapi pria tua itu tidak sendirian. Ada pria tengah baya yang berada di depannya. Samar-samar, Galen mendengar pembicaraan mereka.

"Cara apa lagi yang bisa bikin Galen menerima perjodohan itu, Yah?" Di sana, Aldo nampak frustasi. Zen terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. "Ancaman sudah. Celakai gadis itu, sudah. Tapi Galen tetap Galen, Yah! Dia gak bisa dipaksa jadi penurut hanya karena sebuah ancaman."

"Jangan menyerah dulu, Al. Ayah yakin, Galen akan menerima perjodohan itu dan perusahaan kita akan semakin maju," kata Zen, santai.

"Tapi masalahnya Aldo sendiri sudah pusing, Ayah! Aldo gak masalah kalaupun perusahaan kita yang satunya masih tahap berkembang. Masih ada Galang, dia yang jadi penerusnya."

Zen terkekeh. "Galang jadi penerus kamu, dan Galen jadi penerus Ayah. Kalau hanya satu yang maju, ya semuanya tetap seperti ini saja. Sedang."

"Terus, apa lagi yang mau Ayah lakukan?"

"Ayah tau, gadis itu sudah menjadi kelemahan Galen. Kita-" Belum sempat Zen menghabiskan kalimatnya, suara tegas bentuk penolakan pun terdengar.

"ENGGAK!" Galen dengan mata berapi-api menghampiri kedua pria itu. "Jangan ganggu dia lagi! Galen berani bertaruh, kalau sampai Ayah sama Kakek berniat jadiin dia tawanan lagi."

"Kamu ini datang-datang," kata Zen memandang kesal. Galen mengabaikannya. Cowok itu menarik napasnya pelan, berusaha mencari kendali untuk dirinya sendiri.

Galen berdeham. Ia menatap Aldo dan Zen dengan serius. "Jadi, maksud Galen kesini, hanya buat meluruskan semuanya. Jujur, Galen gak tau, apa dulu semua orang di keluarga ini menerima Galen. Tapi, sekarang Galen udah remaja yang mendekati dewasa. Galen gak bisa terus-terusan dipaksa." Melirik Zen sekilas, Galen melanjutkan, "apalagi dijadiin hewan piaraan sama orang yang udah Galen anggap sebagai malaikat semenjak mama ninggalin Galen."

"Jadi, apa benar, Kakek jodohin Galen sama Nesya hanya karena urusan perusahaan?" Galen menatap Zen tajam. Melihat Zen mulai menjawab, ia pun menyela, "Galen bisa jadi penerus perusahaan Kakek tanpa cara konyol itu," katanya tegas.

Sekarang, Galen menatap papanya. "Dan Papa, apa benar selama ini Papa gak nganggep Galen ada karena Galen jadi anak bandel?" Seperti Zen tadi, Aldo yang mulai menjawab pun sudah Galen sela, "Galen bisa jadi anak penurut, kalau Papa sendiri juga bisa jadi ayah yang baik."

Biasanya, angin di jam 9 pagi seperti ini akan semilir dengan tenang. Namun, seperti mendukung suasana di antara ketiga lelaki itu, angin pun tak kunjung datang. Monoton yang terlalu menegangkan.

EPIPHANY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang