15. KECELAKAAN
Zen sudah tiba di rumah Aldo. Pria tua itu berjalan dengan gagah seolah aura wibawanya tak pernah luntur ditelan usia. Ketika ia hendak mengetuk pintu, kegiatannya terhenti saat anak kecil membuka pintu dari dalam.
"Kakek, Cika kangen Kakek," ujar anak kecil itu sembari memeluk Zen.
Zen mengubah posisinya yang berdiri menjadi jongkok. "Kakek juga kangen Siska. Papa sama Kak Galang ada?" tanyanya.
Gadis kecil itu mengangguk dengan lucunya. "Ada. Papa cama Kak Galang macih makan," jawab Siska dengan suara cadelnya.
Zen mengangguk. "Siska belum ngantuk? Kok belum tidur? Terus kenapa gak ikut makan?"
Siska menggeleng. "Cika gak bisa tidul, Kakek. Tapi Cika udah makan tadi dicuapin Kak Galang," jelasnya.
Zen mengusap lembut surai panjang Siska. Gadis kecil ini sangat pintar. Matanya, hidungnya, sangat mirip mendiang Anisa--menantunya. Satu lagi yang membuat Zen terfokus pada lesung pipi tipis gadis itu. Lesung pipi itu, hanya Galen dan Siska yang mempunyai. Sedangkan Galang tidak. Tiba-tiba, dia teringat Galen yang belum bisa menerima kehadiran Siska. Zen berpikir, Galen sangat egois. Siska saudaranya yang sama sekali tidak pernah berbuat kesalahan dengan Galen. Tapi, kenapa Galen membenci Siska layaknya lelaki itu membenci Galang?
Zen mendesah lelah. Ia yakin suatu saat semuanya membaik. Yang jelas, hari ini tujuan Zen adalah bekerja sama dengan Aldo agar ia kembali menyusun rencana perbisnisannya.
"Siska, siapa yang datang?" Suara itu milik Galang. Saat Galang muncul dari pintu, Zen tersenyum menatapnya.
"Eh, Kakek. Masuk, Kek," ujar Galang yang dibalas tepukan di bahu cowok itu.
"Gimana kuliah kamu, Lang?" tanya Zen.
Galang tersenyum. "Ya ... begitu. Gak ada seru-serunya. Soalnya pikiran Galang udah kebelah di mana-mana."
Zen mengangguk paham. Ia tahu, Galang lebih bisa berpikir dewasa ketimbang Galen. Lelaki itu sudah mulai belajar bisnis dengan papanya, belum lagi mengurus Siska. Sebenarnya, sudah ada pembantu di rumahnya yang siap melayani Siska setiap waktu. Hanya saja, gadis kecil itu sangat manja dengan kakak pertamanya. Perihal Galen, Siska sepertinya tidak bisa dekat dengan dia. Itu karena Galen yang selalu menghindar saat Siska mencoba mengajaknya berinteraksi.
Meja makan di dalam rumah Aldo, kini sudah diisi oleh tiga orang lelaki. Zen, Galang, dan Aldo sendiri. Aldo kemudian membuka suara, "Jadi, Ayah mau rencanain apa?"
Zen mengetuk-ngetuk dagunya. "Ayah ingin menyingkirkan gadis itu dari Galen."
Galang mengeryit bingung. "Maksudnya, pacar Galen?" Zen dan Aldo bersamaan mengangguk. Sedangkan Galang langsung terdiam. Dia sangat menyayangi adiknya walaupun Galen susah untuk bisa menerima dia sebagai kakaknya. Galang tidak bisa berpikir, bagaimana perasaan Galen saat ia tahu kalau kakeknya merencanakan sesuatu yang buruk pada pacarnya.
"Bunuh?" Pertanyaan Aldo membuat Galang tersedak saat ia minum. Zen menaikkan sebelah alisnya menatap Galang. Ia tahu, cucunya ini sedang terkejut.
"Hmm, setidaknya memberi pelajaran dan ancaman."
Galang sebenarnya ingin menyimak obrolan mereka. Tetapi, gadis kecil yang saat ini duduk di sampingnya sudah merengek meminta ditemani tidur. Galang akhirnya pamit dan membawa Siska ke kamarnya.
***
Naya melirik sekilas sebuah tangan yang saat ini bertengger di bahunya. Kukunya sedikit panjang, tapi bersih. Jari-jarinya juga tidak menyeramkan. Kemudian, ia memantapkan tekadnya untuk melihat siapa pemilik tangan itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/218272928-288-k50917.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
EPIPHANY (End)
Teen Fiction_Berawal dari kesalahpahamanku, di antara kita terjadi sebuah temu. Kamu berhasil memupuskan segala mimpiku. Dan denganmu juga aku menemukan jawaban dari pertanyaan panjangku. Kamu adalah titik terangku._ ____________ Nauraya atau gadis yang dikenal...