Jalan-jalan bersama Dirga sangat menyenangkan. Pria itu tidak segan mengungkapkan kesan takjubnya begitu melihat tingginya Monas secara langsung atau mengelilingi Bundaran HI sebanyak tujuh kali karena ingin lama-lama melihat bundaran yang sudah muak dilihat Rintik. Gadis itu tidak bisa menahan tawanya karena tingkah Dirga seperti anak-anak.
"Lain kali, jalan-jalan lagi, ya?" pinta Dirga begitu Rintik mengembalikan helm pria itu.
Rintik pura-pura jutek menjawabnya. "Nggak, lah. Maaf-maaf aja, nih, ye."
Dirga tertawa mendengarnya. "Ya udah, cepetan masuk. Gue pulang, ya."
Setelah Dirga tidak terlihat lagi di mata Rintik, gadis itu melangkah masuk ke pekarangan rumah. Begitu tiba di teras, Rintik sedikit bingung karena ada sepasang sepatu asing tersusun rapi di sana. Ah, mungkin Jeha memiliki sepatu baru.
Rintik mengucapkan salam begitu masuk ke rumah. Lampu ruang tamu yang jarang dihidupkan, terlihat menerangi jalan masuk Rintik. Gadis itu melirik ke ruang tamu dan mendapati Ibu dan Ayah tengah berbincang dengan seorang gadis. Rintik merasa familiar dengan wanita itu, tetapi tetap saja, ia tidak tahu siapa dia.
"Loh, baru pulang?" terlihat Senja dengan nampan ditangannya. Tunggu. Apa yang ia lakukan sebelum bepergian dengan Dirga? Kenapa ia bisa lupa?
"Itu, Caca. Salaman, gih." bisik Senja, membuat Rintik tertampar akan kenyataan. Matanya memanas dan dadanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia melirik wanita asing yang telah berdiri, hendak menyapanya dengan senyuman. Bayang-bayang itu mulai menyeruak dari diri Rintik. Perlahan, ingatan Rintik mulai membaik. Mengenai Senja dengan nada bahagianya mengabarkan kedatangan wanita itu, aksi merajuknya, hingga ia menerima ajakan Dirga agar tidak bertemu dengan wanita itu. Namun, kenyataannya, seberapa keras pun ia menghindar, akhirnya akan tetap sama. Membuat luka baru bagi Rintik.
Gadis itu menepis lengan Senja hingga nampan yang berisi minuman dan beberapa kue kering itu berjatuhan. Rintik berlari cepat masuk ke kamarnya dan menguncinya, lalu membuang kunci itu ke sembarang arah. Ia melempar tubuhnya ke kasur dan menumpahkan segala amarahnya di seprei bermotif bunga sakura itu. Tangannya tidak henti memukul kasur yang tidak bersalah itu. Penampilannya kacau seketika. Benar-benar terlihat seperti zombie.
Yang bikin Rintik kesal adalah kenyataan bahwa Caca jauh lebih cantik dari dirinya, apalagi dilihat secara langsung. Rambut panjang, kaki jenjang, mata besar, dan pipi tirus, sangat cocok dengan Senja. Untuk Rintik berwajah chubby dan tubuh yang tidak memadai ini, apalah daya. Dilihat dari wajahnya, Caca adalah orang yang baik dan ramah, yang lagi-lagi membuat Rintik marah. Kenapa Senja harus bertemu dengan wanita seperti itu, sih? Rintik tidak suka.
Sepengetahuan Rintik, Caca dan Senja saling mengenal sejak sekolah dasar, sebelum Senja ikut pindah dengan keluarga Rintik. Mereka telah menjalin hubungan yang cukup lama dan tidak pernah terdengar oleh Rintik mengenai perkelahian mereka. Ketika mereka berteleponan, Senja tidak pernah meninggikan nada suaranya. Pria itupun tidak pernah tidak tersenyum bila mendengar nama wanita itu.
Fakta-fakta itu membuat Rintik semakin takut jika Senja akan meninggalkannya nanti. Ia telah terbiasa dengan kehadiran pria itu. Senja selalu memberikannya kenyamanan yang dulunya sempat hilang. Pria itu tidak pernah marah dengan Rintik, seberapapun kelakuan Rintik yang selalu membuat banyak orang naik darah. Seperti saat-saat Rintik mengutarakan langsung bagaimana ia tidak menyukai pacarnya, Senja tidak pernah menegur Rintik atau semacamnya. Senja selalu meminta maaf terlebih dahulu bila mereka bertengkar. Pria itu selalu mengalah jika Rintik bersikeras dengan argumennya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik dan Senja
Teen FictionRintik menyukai Senja dalam segi apapun. Rintik selalu bahagia ketika Senja berada di sisinya, walau hanya sekedar mengganggu. Cita-cita Rintik sejak dulu adalah menikahi Senja. Tetapi, takdir telah menciptakan garis di antara mereka. Baik Rintik ma...