Ep16

17 3 0
                                    

                Suasana coffeeshop ini sangat tenang, namun ekspresi dari mereka sama sekali tidak demikian, terutama Senja. Biru menyeruput cappuccino-nya dengan tatapan yang tidak lepas dari pria itu. Tadinya, ia sedang bersenang-senang sendirian di kamarnya karena ia baru membeli beberapa item di game kesukaannya. Akan tetapi, telepon dari Senja membuat kesenangannya berakhir begitu saja. Awalnya, ia mengabaikan. Namun, Senja tidak menyerah.

"Njir, kenapa, sih? Dikejar Pak RT apa lo, belum bayar pos kamling?" gerutu Biru.

"Nongki kuy, please."

"Apaan, tumben banget. Lo benar-benar nggak punya teman, ya selain kita-kita?"

"Kalau nggak ada hubungannya sama kalian, ngapain gue ngajak?" gumam Senja. "Gue tunggu di coffeeshop dekat halte rumah gue, ya! Gue traktir!"

Mendengar kata 'traktir', Biru bergegas pergi ke sini dan mendapati Senja, Jeha, dan Dirga yang duduk di satu meja. Sepertinya, ada sesuatu yang tidak beres sehingga pria itu memanggil mereka. Lebih anehnya lagi, tidak ada Rintik.

Iya. Gadis itu tidak ada.

Perlu diketahui, bila ada Rintik, maka Senja pun ada. Mereka sudah seperti lem dan perangkap tikus, kemana-mana selalu bersama, tidak bisa dipisahkan. Kalau kemana-mana, mereka selalu berempat. Senja akan mengikuti Rintik kemanapun bila bepergian karena dengan begitu, senyum Rintik tidak akan luntur dari wajahnya. Baik Jeha maupun Biru sudah sangat mengenal tabiat itu.

Kini, mereka tambah satu anggota. Dirga.

Senja menyuruh mereka memesan minuman, bebas. Begitu usai memesan, mereka pun saling diam hingga pesanan telah mendarat dihadapan mereka. Biru mengamati suasananya, lalu memutuskan untuk memecahkan keheningan.

"Ada apa, sih? Udah kayak rapat OSIS aja, serius amat." ucap Biru, jenaka.

Mereka bertiga menatap Senja karena pria itu yang mengumpulkan mereka. Lalu, Senja berdehem, tiba-tiba gugup, membuat Biru jengah.

"Masalah rumah tangga lo sama Rintik?" tebak Biru, yang kemudian mendapat tatapan syok dari Senja, membuat Biru pun terkejut juga.

"Lah, beneran?"

Perlahan Senja mengangguk. "Tapi, nggak rumah tangga juga."

"Oh iya. Kan, lo Caca, ya?"

Jeha memukul punggung Biru pelan, menyuruh pria itu menutup mulutnya sebelum kata-kata yang tidak dikehendaki keluar dari sana. Biru langsung mengatup mulutnya dan hanya menatap Senja. Jeha berpaling ke Senja. "Kak Senja kapan pulang dari Bandung?"

"Jam dua tadi."

Jeha memanggut-manggut. "Udah ngomong sama Rintik?"

"Udah."

Tiba-tiba saja semua terdiam begitu mendengar jawaban Senja. Jika begitu, berarti masalah ini sangat menyinggung perasaan Rintik. Memang, perasaan Rintik sangat rumit. Di hari lain, ia bisa saja sangat marah, namun langsung luluh ketika diajak bicara baik-baik. Namun, tidak jarang, gadis itu tidak akan berbicara dengan Senja walau pria itu berlutut sambil nangis guling-guling.

Udah kayak suami-istri aja.

"Gue nggak ngerti, beneran," keluh Senja dengan dahi mengerut. "Gue udah ngomong baik-baik, minta maaf juga karena memang gue nggak nepatin janji. Tapi.... ya, gitu."

Rintik dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang