Ep09

17 3 0
                                    

Begitu bel istirahat berbunyi, Rintik, Jeha, Biru, dan Dirga makan bersama di kantin sekolah. Biru asyik curhat tentang pacarnya yang ia putusi kemarin, katanya, sih terlalu posesif. Jeha mencubit Biru dan berkata apa tidak bisa Biru tidak memainkan perasaan orang lain. Biru cemberut lalu bilang kalau Jeha terlalu serius menanggapinya. Jeha berdecih dan tidak berbicara lagi karena sia-sia saja membicarakannya dengan Biru.

Dirga curi-curi pandang ke Rintik yang tengah menatap kosong segelas jus jeruk yang tidak tersentuh dihadapannya. Pikirannya masih berkutat dengan kejadian tadi malam, dimana Rintik mengangkat teleponnya dengan suara serak. Setelah mengantar Rintik, Dirga merebahkan diri di kasurnya dan merasa bahwa ia sedikit sentimental ketika membicarakan keluarganya dengan Rintik. Ia merasa sedikit nyaman bercerita dengan Rintik walau tidak tahu apakah gadis itu merasakan hal yang sama. Karena terus-terusan memikirkan Rintik, akhirnya Dirga menelepon Rintik. Mendengar suara gadis itu kemarin, membuat Dirga langsung tahu bahwa keadaan Rintik tidak baik-baik saja. Tiba-tiba saja Dirga berinisiatif untuk memainkan lagu dengan pianonya. Hal itu sering ia lakukan ketika perasaannya sedang gundah. Mendengarkan musik adalah obat paling ampuh untuknya.

Namun, Dirga begitu terkejut ketika Rintik yang semula menghentikan nangisnya, malah melanjutkan air matanya dengan raungan keras sembari mengatakan lagu yang dimainkan Dirga adalah lagu yang sangat sedih. Dirga tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk Rintik hingga gadis itu memutuskan panggilan. Hingga detik ini, Dirga tidak berani menanyakannya ke Rintik karena gadis itu tampak masih tidak ingin mengungkitnya.

Tiba-tiba Biru menyenggol lengannya, membuat Dirga segera menatap Biru. Yang nyenggol, memasang wajah yang menyebalkan.

"Jangan diliatin terus. Kalau dia sadar, habis lo diamukin!" bisik Biru, seakan-akan sudah biasa ia alami. "Nanti baik sendiri, kok. Memang gitu orangnya."

Dirga mengangguk dan perasaannya mengatakan bahwa Biru benar. Tetapi, membiarkannya bukanlah pilihan yang benar. Bukankah seseorang yang bersedih harus dihibur? Dengan begitu, kesedihannya akan cepat berlalu.

"Eh, Ga! Kemarin, lo kemana sama Rintik? Gila, sih, jalan cuma berdua aja!" seru Biru antusias. "Hampir aja gue lupa!"

Biru dan Jeha menatap Dirga dengan tatapan penasaran. Sementara Rintik, sepertinya lamunannya sedikit buyar karena gadis itu pun ikut-ikutan menatap Dirga. Hal tersebut membuat Dirga seperti telah melakukan kesalahan.

"Keliling-keliling aja. Gue, kan baru pindah ke sini. Mau tau jalan, doang." jawab Dirga sembari menatap Rintik yang mengangkat kedua bahunya seakan-akan bilang kalau ia memperbolehkan Dirga mengatakan apa saja, toh, Biru dan Jeha adalah teman dekatnya.

"Apaan mau tau jalan, perginya sama Rintik!" ujar Biru tidak puas. "Asal lo tau, Rintik nggak pernah, tuh kemana-mana sendiri. Mana tau dia jalan!"

Rintik berdecak dan menatap Biru tajam. "Heleh, lo kayak orang baru puber aja! Cemburu, cemburu gitu!"

"Cemburu apanya? Hei!"

Dirga mati-matian menahan senyumnya karena senang melihat Rintik berbicara lagi setelah lama mereka duduk di meja ini, walau gadis itu memarahi Biru. DIrga merasa nyaman kalau Rintik bersuara daripada hanya diam seperti tadi. Itulah Rintik Hujan yang ia kenal!

"Ya, maaf. Gue, kan bingung aja. Kalian berdua nggak pernah rukun, eh nggak ada angin, nggak ada hujan malah jalan berdua. Nggak tau lagi kemana." ucap Biru akhirnya.

Dirga pun ingin mempertanyakan hal itu juga ke Rintik. Kemarin, ia hanya iseng mengajak Rintik setelah ditelepon Pamannya agar mampir ke Café barunya. Ia malah ingin menggoda gadis itu karena pasti Rintik akan menolak ajakannya. Namun, siapa sangka, Rintik mau ke Café bersamanya, membuat ia refleks berdiri dan membaca pelan-pelan pesan dari gadis itu. Semuanya nyata, tetapi Dirga masih tidak percaya, bahkan hingga detik ini.

"Kepo banget lo, Mbah Dukun!" balas Rintik.

Biru berdesis. "Apaan, tiba-tiba Mbah Dukun."

Tiba-tiba suasana membeku ketika seseorang menghampiri meja mereka. Senja datang dan segera duduk di sebelah Rintik.

"Ayo, Mas Senja. Mau pesan apa?" tanya Biru mencairkan suasana.

Namun, suasana semakin menegang ketika Rintik berdiri dan meninggalkan meja begitu saja. Senja yang baru duduk, segera bangkit untuk menyusul gadis itu. Dirga hendak mengikuti, tetapi ditahan oleh Biru. Biru bilang, mereka sudah sering seperti itu dan mereka akan segera menyelesaikannya, membuat Dirga duduk kembali.

Sementara Rintik, ia berusaha tidak mengidahkan panggilan Senja.

Sehingga ketika mereka tidak lagi berada di tempat yang ramai, pria itu menahan paksa lengan Rintik, membuat gadis itu segera melepaskannya dan menatap Senja dengan sorot tidak senang.

"Lo kenapa?" seru Senja frustasi. "Kasih tau gue. Gue nggak tau kalau lo nggak ngasih tau, Rin."

Rintik memutar badannya dan berjalan kembali. Senja berdecak, lantas menyusul Rintik dan memaksa gadis itu untuk menatapnya.

"Tolong, jangan begini, Rin." pinta Senja frustasi. "Kalau lo marah, lampiasin. Pukul gue, maki-maki gue. Tapi, nggak diam begini, Rin."

"Lepasin."

Senja menurut, melepaskan tangannya dari lengan Rintik. Rintik menarik napas dalam-dalam, mengontrol emosi yang tengah bergejolak. Ia tidak ingin menyebabkan masalah di sekolah. Ia pun tidak ingin menjadi sorotan karena membentak senior.

"Di rumah aja." desis Rintik.

Senja menggelengkan kepalanya. "Sekarang."

"Ini sekolah."

"Kalau di rumah, lo nggak akan biarin semuanya selesai, Rintik."

Rintik menundukan kepalanya. Senja memang tahu benar tabiat dirinya, membuat ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi untuk menepis masalah ini. Sejujurnya, Rintik tidak ingin membicarakannya lagi. Biar saja konsekuensinya ia tidak akan berbicara dengan Senja. Namun, memendamnya, hanya membuat hati Rintik semakin sakit.

"Rintik nggak suka sama Caca." ucap Rintik pelan, tidak berani menatap Senja. "Rintik sengaja pergi sama Dirga biar nggak ketemu Caca. Tapi, tetap aja...."

Rintik takut Senja marah karena keegoisannya. Mungkin, kini Senja akan marah ke Rintik untuk pertama kalinya. Rintik tahu, Senja pantas marah karena bisa-bisanya gadis itu marah hanya karena sepele, apalagi menyangkut kekasihnya. Rintik memejamkan matanya, siap-siap menerima makian dari Senja. Ia merasakan pria itu mendekat. Ketakutannya semakin menjadi-jadi.

Namun semua ketakutan Rintik meluap ketika ia merasakan lengan Senja melingkar di lehernya. Aroma maskulin dari Senja sangat jelas tercium di hidung Rintik. Senja tidak memarahinya, apalagi memukulnya. Pria itu malah memeluk Rintik dengan erat.

"Maafin Senja, ya." bisiknya, membuat mata Rintik sedikit berair.

Awalnya, Rintik bertekad akan mengabaikan Senja selama-lamanya. Mau Senja salto, kayang, bahkan menyeberangi sungai demi mendapat maaf dari Rintik, gadis itu tidak akan memaafkannya. Namun, Senja tidak perlu melakukan hal-hal yang sulit. Dengan memeluk dan berbisik maaf dengan suara yang hangat, sudah membuat Rintik sangat menyesal, sehingga tidak mungkin ia tidak memaafkan Senja. Pria itu memang kelemahan terbesar Rintik.

Rintik membalas pelukan Senja dan membenamkan wajahnya sembari mengelap air mata di seragam pria itu.

*****

Rintik dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang