Ibu dan Jeha yang sedang berberes rumah terkejut begitu melihat Rintik keluar dari kamar dengan berpakaian rapi. Biru yang bermain PS pun meninggalkan permainannya dan menatap Rintik tidak percaya. Selama ia mengenal Rintik, gadis itu tidak pernah merajuk kurang dari satu kali dua puluh empat jam. Namun, lihatlah sekarang. Bahkan, si biang kerusuhan pun belum tampak dan gadis itu sudah terlihat baik-baik saja.
"Mau kemana, Rin?" tanya Jeha.
"Pergi." jawab Rintik sembari mengenakan sepatu.
"Ke mana? Sama siapa? Emang lo punya teman selain kita?" oceh Biru, tidak mau kalah.
Rintik menyalami Ibunya, berpamitan, dan keluar rumah tanpa berkata apa-apa. Tidak mau mati penasaran, Jeha dan Biru mengintip dari balik jendela untuk melihat siapa sosok yang mampu membuat Rintik bergaya di akhir pekan ini.
Tampak seorang pria dengan motor vespa antik tengah menunggu di depan pagar. Pria itu mengenakan helm yang sangat udik—seperti helm untuk sepeda. Biru berdecak, seperti familiar dengan sosok itu.
"Kok gue pernah liat, tuh motor, ya?" gumam Jeha, membuat Biru membelalakan matanya. Ternyata bukan dirinya saja.
Begitu sosok itu berbalik, mereka terperangah, tidak percaya. Mereka saling tatap, memastikan bahwa pemandangan barusan adalah nyata. Bukankah itu Dirga? Sosok yang dimusuhi oleh Rintik karena ketengilannya? Namun, kenapa Rintik pergi bersamanya?
Sementara Biru dan Jeha syok, Rintik menerima helm yang diberikan oleh Dirga sembari berdecih. "Serumahan heboh pasti gara-gara lo."
Dirga tersenyum jahil. "Baru kali ini, ya jalan sama cowok tampan kayak gue?"
Rintik duduk di belakang Dirga dengan malas. "Buruan!"
"Siap, Neng. Kemanapun eneng pergi, abang jabanin, dah!"
Rintik memegang erat ujung jaket Dirga sebelum pria itu benar-benar menancap gasnya dan meninggalkan area rumah Rintik. Angin mulai menerbangkan rambut sebahu Rintik. Jujur saja, Rintik baru kali ini merasakan sensasi naik motor. Biasanya, ketika ia berboncengan dengan Senja, fokusnya hanyalah pada pria itu. Waktu terasa cepat bila Senja ada. Maka dari itulah, Rintik tidak pernah benar-benar merasakan bagaimana angin menerpa rambut, kebisingan suara knalpot dan klakson, dan ketegangan ketika menyalip kendaraan lainnya. Mengingat hal itu, membuat Rintik hanya bisa berdecak pelan. Mau dimanapun dan dengan siapapun, Senja tidak akan hilang dibenaknya.
Fakta itu membuatnya ingin marah, namun bisa apa.
*****
Café itu tidak mewah, tetapi bisa memberi kesan minimalis yang memang tren masa kini. Begitu mereka masuk, seorang pria agak gempal dengan topi menyapa. Ia bertos ria dengan Dirga. Ketika melihat Rintik, ia bertanya ke pria itu, siapa Rintik bagi pria itu. Seperti biasa, Dirga menjawab dengan candaan yang berlebihan.
"Calon, Om. Aku-nya mau, dia-nya nggak."
"Ya, iyalah, anaknya cakep! Mana mau dia sama kamu yang begini!" balas pria itu.
"Udah ganteng, kok Om. Kurang kasih sayang aja."
Rintik tersenyum tipis dan sedikit mencubit pinggang Dirga sembari berbisik, "Pegel."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik dan Senja
Roman pour AdolescentsRintik menyukai Senja dalam segi apapun. Rintik selalu bahagia ketika Senja berada di sisinya, walau hanya sekedar mengganggu. Cita-cita Rintik sejak dulu adalah menikahi Senja. Tetapi, takdir telah menciptakan garis di antara mereka. Baik Rintik ma...