Ep11

20 2 0
                                    

                Jeha dirawat selama tiga hari, sesuai anjuran dokter untuk masa pemulihan. Selama itupula Rintik tidak menghadiri kegiatan belajar mengajar seperti biasanya dan memilih untuk menemani Jeha. Sejak Jeha siuman, Ibu Jeha pergi untuk melaporkan suaminya atas kekerasan rumah tangga dan mengurus surat perceraian. Hingga detik ini, tidak ada yang tahu bagaimana perkembangannya karena Ibu Jeha tidak kembali. Jeha pun demikian.

                Rintik melakukan semua itu karena rasa bersalahnya. Ia merasa tidak menjadi teman yang baik untuk Jeha, padahal gadis itu sering menghiburnya ketika ia tengah bersedih. Rintik merasa tidak berguna. Setiap kali ada kesempatan, gadis itu akan menunduk dan menggumamkan permintaan maaf. Beratus-ratus kali Jeha bilang kalau semuanya bukanlah kesalahan gadis itu. Namun, tetap saja, Rintik merasa, salah satu sebabnya adalah ketidakpekaannya.

                Kini, Jeha menginap di rumah Rintik, mengingat rumahnya diamankan sebagai tempat kejadian perkara. Sepertinya, semuanya berjalan sesuai rencana, walau tidak ada yang tahu bagaimana keadaan Ibu Jeha. Jeha menenangkan semua yang mencemaskan Ibunya. Ia yakin, di suatu tempat, Ibunya baik-baik saja.

                "Ibu nggak pernah ngeluh," ujar Jeha, ketika ia hanya berdua saja dengan Rintik, di kamar Rintik tentunya. "Ibu selalu beralasan ke luar kota. Padahal, Ibu hanya ingin melarikan diri."

                Rintik menggeleng. "Jangan cerita kalau berat, Je."

                Jeha tersenyum, menatap ke luar jendela. "Gue nggak tau kapan tepatnya, tetapi Ayah sering minum alkohol dan pulang dalam keadaan mabuk. Ayah sering mengatakan kalau ia dinas ke luar kota, tetapi aku pernah beberapa kali melihatnya di Jakarta."

                Rintik menepuk bahu Jeha perlahan, memberikan sahabatnya itu ketegaran, walau ia kurang yakin apakah sepenuhnya berfungsi. Jeha menghela napas berat, memperlihatkan seberapa kerasnya kehidupan yang ia jalani akibat pertikaian orang tuanya.

                "Ibu tahu, kalau ada wanita lain yang merebut hati Ayah. Tetapi, Ibu tidak pernah mengatakannya. Ibu selalu bersikap seperti biasa, tetapi, lo tau, mata nggak pernah bohong."

                "Ayah merasa Ibu mencurigainya karena tatapannya yang berubah." gumam Jeha. "Sejak saat itulah, ketika mereka bertemu, selalu terjadi perang."

                Rintik memeluk Jeha dengan erat sembari meneteskan air matanya. Sangat berat menyaksikan Jeha serapuh ini. Benar kata orang. Kita tidak boleh menilai sesuatu hanya melalui sampulnya saja. Jeha yang selalu tenang dan terlihat baik-baik saja, menyimpan semua kepedihannya dengan sempurna.

                "Ah, apaan, sih Rin." ujar Jeha karena terkejut melihat Rintik yang tiba-tiba memeluknya.

                "Semuanya akan baik-baik aja, Je." bisik Rintik.

                Jeha mengangguk dengan pelan, lalu mengelus kepala Rintik. "Benar. Semuanya akan baik-baik aja..."

                Tiba-tiba seseorang membuka pintu dengan wajah pias, basah akibat air mata. Ia berlari ke arah mereka berdua dan bergabung memeluk Jeha.

                "Je..."

                Jeha tersenyum, lantas membalas pelukan pria itu, Biru, yang terlihat sama terpukulnya dengan Rintik. Jeha bersyukur, sangat teramat karena ia memiliki orang-orang seperti Rintik dan Biru. Awalnya, Jeha tidak ingin siapapun tahu masalahnya karena takut mereka menjauhinya. Siapa yang hendak berteman dengan seseorang yang memiliki banyak masalah? Ada, tetapi tidak banyak.

                Ternyata, di antara tidak banyak itu, ada Rintik dan Biru.

                "Makasih, ya. Makasih banget." lirih Jeha, membiarkan kedua sahabatnya menangisi dirinya yang memang butuh ditangisi.

Rintik dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang