2023
SUNYI.
Tidak ada yang berkenan untuk singgah sejenak pada kedai kopi tua yang tak lagi beresensi. Tak ada WiFi, tak ada stopkontak. Hanya kursi kayu dengan meja yang mulai rapuh. Sosok kakek tua dengan kulit keriput, diam bak patung yang tengah dipaku di balik meja yang usianya hampir menyainginya. Jiwanya hilang setengah, tak ada kehidupan dalam jenak matanya. Baju yang dikenakannya lusuh, seolah-olah paham betul bagaimana menjadi kawan terdekat dalam perjuangan kakek itu.
Sekali lihat, semua orang agaknya sepakat untuk mencetuskan tak ada yang menarik dalam kedai kopi ini—terlebih kakek tua itu. Dalam beberapa waktu tertentu, aku rela untuk bertentangan dengan dominasi khalayak manusia. Saat orang-orang pergi ke kafe di pusat kota, aku tetap akan duduk sendiri dalam kedai kopi ini. Meski tiap kali datang selalu dengan pertanyaan 'apakah kedai kopi itu masih bertahan sampai hari ini?'.
Kalian pernah merasa bumi dan seisi penduduknya terasa sangat menyebalkan? Sepertinya, aku cukup sering merasakannya. Ini kali kedua aku kembali merasakan perasaan seperti ini di tahun 2023. Entah karena sedang PMS atau karena beban perkuliahan sedang gila-gilanya. Entah, aku pun tak tahu pasti. Aku mengakui bahwa regulasi emosiku sangat buruk—hal ini baru kupahami setelah belajar salah satu mata kuliah waktu S1 dulu. Aku mudah 'meledak' di waktu-waktu sensitif seperti saat ini.
"Permisi."
Pikiranku teralihkan karena suara bel di pintu masuk diiringi suara 'permisi'. Cukup mengejutkan karena ternyata ada orang yang berkunjung ke sini. Mengetahui fakta bahwa kedai kopi ini diketahui oleh orang lain—bukannya merasa sombong, tapi aku sempat berpikir kedai kopi ini hanya aku satu-satunya pengunjung yang datang—dan bertamu di siang hari yang panas. Ah, kapan memangnya Jogja tidak panas?
"Bisa pesan ... kopi?" Ia terlihat ragu-ragu saat bertanya kepada kakek tua yang masih bergeming atas kehadirannya. Aku tidak heran kalau ia ragu, sejujurnya kedai kopi ini lebih terlihat seperti tempat tua yang tak sengaja memiliki bahan kopi untuk dijual.
"Tentu, pesan saja." Kakek itu bersuara setelah batuk.
Aku menghela napas lalu mengalihkan pandanganku, sadar bahwa tidak ada gunanya memikirkan laki-laki asing yang baru saja datang. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena laki-laki itu berdiri membelakangiku. Kemejanya abu-abu tua, dimasukkan dalam celana serta lengan kemejanya digulung sesiku. Meski ia terlihat berpakaian sangat rapi, tapi aku memperkirakan ia seumuran denganku.
Oke, ngapain bahas dia lagi?
Tanganku menggerakkan kursor laptop dan kembali berselancar di internet. Aku sedang mencari jurnal-jurnal untuk tesisku. Bukan, aku bukan termasuk mahasiswi rajin yang senang bimbingan bertemu dosen. Hanya saja, besok jadwal bimbinganku dan suasana hatiku sedang tidak baik. Akhirnya, aku terpaksa mengerjakan tesisku di luar kamar indekos. Ini ketiga kalinya aku datang ke sini. Meski tempatnya terkesan sangat tua, aku tidak bohong bahwa suasananya terasa nyaman. Ah, terlebih lagi wangi kopi di sekitar ruangan seperti memberi terapi khusus untukku.
"Ara?"
Aku mengangkat kepalaku saat merasa namaku dipanggil oleh seseorang. Sambil melepas ear phone di telingaku, mataku menangkap sosok laki-laki tadi tengah berdiri di depanku. Ia menaikkan alis seolah terkejut atas kehadiranku.
"It's really you!"
Bersama kakek tua yang tengah menatap ke arah kami, uap kopi yang menguap dari cangkir yang masih digenggam oleh laki-laki itu, serta kesadaranku yang masih terkumpul setengah, hari ini aku bertemu dengannya lagi. Laki-laki dengan bola mata hitam pekat itu tengah menatapku dengan pandangan yang sangat sulit kuartikan.
Kuulangi, aku bertemu dengannya lagi. Lagi. []
***
Hai! Cerita ini sudah tamat, tapi aku sangat berterima kasih jika kalian berkenan datang dan meninggalkan jejak di sini. 🤗
Selamat datang! <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnet [Selesai]
Romance[Trigger / content warning: self injury, toxic family, negative vibes] Ara tidak pernah menjadikan 'mahasiswa berprestasi' sebagai tujuan utamanya di dunia perkuliahan. Cukup dengan IPK yang memuaskan agar dapat membuktikan pada mamanya bahwa ia...