[20] Titik Koma ⚠️

1.6K 338 17
                                    

[Trigger Warning]

---

        Senyap.

        Perempuan itu menyandarkan badannya di dinding dengan mata terpejam. Sekitarnya sepi, hanya ada tiga mobil dosen yang berada di parkiran basement. Suasana kampus yang kosong mulai menyadarkan pikiran rasionalnya kembali datang. Mengingat bagaimana kacaunya tadi di lift, Ara tidak dapat membayangkan jika kampus saat ini masih ramai dan orang yang menemukannya tadi adalah segerombolan manusia yang akan menertawakan kondisinya.

        Suara langkah kaki membuat kelopak matanya terbuka. Badannya menegak sembari menoleh ke arah sumber suara. Seorang laki-laki mendatanginya dengan langkah kaki lebar dan tangan kanan yang menggenggam kotak P3K. Kakinya berhenti tepat di hadapan kursi yang diduduki Ara.

       Namun perempuan itu terlalu malu untuk menatap sosok di depannya. Ia menunduk, ingin sekali rasanya bumi melenyapkannya detik ini juga. Meski bersyukur orang yang ditemuinya di lift adalah Aksa, tapi ia menentang kenapa kedatangan laki-laki itu yang dititipkan Tuhan hadir. Kenapa harus laki-laki itu yang menolongnya saat pikirannya kalut sebab titik terendah dalam hidupnya kembali lagi?

        "Permisi, ya," kata Aksa sambil duduk di bawah kursi. Ia menarik lembut tangan kiri Ara, pelan-pelan membuka balutan kasa luka di tangan Ara yang sudah tak beraturan.

        Dua goresan panjang terlihat jelas di pergelangan tangannya, menemani goresan-goresan lama yang tidak pernah hilang dari kulitnya. Ara semakin menuduk, rasanya maluㅡpun gelisah dan takut. Ia takut Aksa akan menertawakan sikapnya yang sama sekali tidak dewasa seperti yang dilakukan Bima tadi. Ia juga takut Aksa akan menyebarkan informasi ini kepada orang lain sehingga ketakutannya menjadi konsumsi publik.

        Juga takut Aksa akan menjaga jarak, seperti lingkungannya.

        Ara semakin tidak tenang karena Aksa tak mengeluarkan sepatah kata pun setelahnya. Laki-laki itu hanya menitik fokusnya pada sayatan lukanya. Otaknya berpikir cepat untuk memikirkan alasan logis yang bisa diberikannya. Seperti pura-pura jatuh dan tangannya tak sengaja tergores, mungkin?

        "Kayaknya bakal perih," kata Aksa dengan obat merah di tangannya. Matanya menatap Ara yang balik menatapnya dengan pandangan risau. "Enggak apa-apa, 'kan?"

        Bola mata Ara semakin bergerak tak nyaman. Alih-alih menjawab, ia menggigit bibir bawahnya sementara tangan kanannya yang bebas meremas celananya untuk mengurangi kegelisahan. Otaknya bahkan tidak berani menebak-nebak isi pikiran Aksa saat ini.

         Setelah selesai mengganti kasa luka, Aksa berdiri dari duduknya. Ia mengambil ponsel di saku, menelepon kontak seseorang, dan berbicara sebentar dengan orang yang diteleponnya. Setelah sambungan telepon mati, kakinya kembali melangkah ke kursi, duduk di samping Ara dan menyimpan kotak P3K di tengah-tengah mereka.

         Dalam hati, Ara sudah merapalkan ucapan terima kasih atas bantuan Aksa, tapi tenggorokannya tercekat. Bibirnya bungkam, seperti sedang direkat dan tidak diperbolehkan untuk bersuara. Takut jika yang diucapkannya justru memperburuk keadaan. Takut jika Aksa sedang menelepon orang lain untuk menyaksikan keadaannya langsung saat ini dan bergunjing di belakangnya. Terlalu banyak ketakutannya terhadap subjek bernama 'manusia' sehingga pikiran irasional selalu mampu mendominasinya.

         Tidak ada obrolan apapun sampai sebuah mobil masuk ke parkiran dan berhenti di depan basement. Nina turun dari mobil, sedikit berlari mendekati dua orang yang duduk di kursi kayu basement.

       "Maaf terlambat," kata Nina gusar. Ia menatap Ara, memastikan bahwa temannya baik-baik saja. "Ayo, balik, Ra," ajak Nina sambil merangkul perempuan itu.

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang