[22] Kilas Balik - 2

1.1K 304 19
                                    

       [Pertama Kalinya: Benci dengan Diri Sendiri]

       "Papaaa! Please, kali ini aja."

       "Enggak boleh, Ara. Udah, nonton Youtube aja di rumah."

       Bibir Ara maju ke depan. Ia bersedekap, kesal karena sudah menghabiskan banyak waktu untuk dandan, tapi tidak diizinkan pergi keluar. "Pa, Ara udah siap-siap, loh! Masa udah dandan cantik gini cuma nonton Youtobe doang di rumah?"

       "Enggak usah nonton pensi-pensian," kata Mama, masuk ke dalam obrolan. "Malam Minggu gini mau ngapain keluar? Di rumah aja."

       "Nonton pensi doang sama temen SMA. Emang kenapa, sih? Ara udah 17 tahun!"

       "Di rumah aja," kata Mama dengan nada suara final.

       Ara merengut. Ia menghentakkan kakinya kesal. "Emang enggak pernah mau ngertiin anaknya!" katanya lalu masuk ke kamar dengan membanting pintu.

       Dada Ara naik turun. Amarahnya bergejolak, kesal karena sudah siap-siap namun dilarang pergi. Memangnya kenapa, sih? Pergi ke pentas seni bukannya hal yang umum untuk anak seusianya? Padahal bintang tamunya merupakan penyanyi kesukaan Ara dan ia sudah menunggu hari ini sejak lama. UN juga sudah selesai, seharusnya sedikit bersenang-senang tidak apa-apa, 'kan?

       Lagi pula, Dimas kan sudah membelikannya tiket pensi sebagai ajakan kencan pertama mereka.

       Pintu kamarnya diketuk saat Ara mulai menangis. Dengan muka cemberut (sekaligus gengsi), Ara membuka pintu kamarnya. "Apa?" tanyanya galak.

       "Iya, boleh pergi ke pensi, tapi Papa yang antar-jemput. Oke?"

       Ara tidak terlalu suka dengan tawaran itu, tapi ia tetap mengiyakan. Lebih baik diantar-jemput daripada tidak bisa datang ke pensi.

*

       "JANGAN CINTAI AKU, APA ADANYA JAAA~ NGAN~"

       Seluruh penonton ikut bernyanyi dengan bintang tamu di atas panggung. Ara hanyut dalam nyanyian Tulus malam ini. Ia ikut menaikkan tangannya dan melambaikan ke kanan-kiri mengikuti penonton lainnya. Bibirnya mengukir senyum senang.

       Tes SBMPTN sudah selesai hari ini dan tidak ada lagi alasannya untuk pergi ke sekolah. Tidak ada lagi bangun pagi di hari Senin sampai Sabtu. Tidak ada lagi waktu di mana ia kesal melihat mantan pacar dan mantan sahabatnya bermesraan di sekolah, juga tidak ada lagi keinginanya untuk melempar pot bunga setiap melihat mereka berduaan di sekolah.

       Ia bebas. Selamat tinggal, masa SMA!

       "Panitia yang megang HT di depan ganteng banget!" seru Yaya, satu-satunya sahabat Ara yang masih dekat dengannya setelah drama perselingkuhan mantan pacar dan mantan sahabatnya empat bulan lalu.

       "Anak SMA Delapan emang ganteng-ganteng, ya," timpal Ara sambil tertawa. Menyadari tatapan kesal dari laki-laki di sampingnya, Ara menarik tangan Dimas dan mengenggamnya diam-diam. Ia tersenyum ke arah laki-laki itu. "Tapi tetep aja kamu yang paling ganteng," bisiknya pelan agar Yaya tidak mendengar perkataannya.

       Dimas tersenyum mendengarnya.

       Baru saja akan memasuki puncak acara, Ara sudah ditelepon oleh Papa untuk segera keluar karena Papa sudah sampai di parkiran Sabuga. Mau tak mau, Ara keluar dari kerumunan penonton malam ini dengan wajah cemberut. Ia keluar dari lapangan ditemani Dimas.

       "Maaf, ya, Dims, aku pulang duluan," katanya tak enak.

       "Enggak apa-apa. Besok-besok bisa ketemu lagi, 'kan?" kata Dimas.

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang