[34] Tahun-Tahun Setelahnya (Tamat)

2K 302 113
                                    

       Yogyakarta, 2023.

       Tidak ada yang berkenan untuk singgah sejenak pada kedai kopi tua yang tak lagi beresensi. Tak ada WiFi, tak ada stopkontak. Hanya kursi kayu dengan meja yang mulai rapuh. Sosok kakek tua dengan kulit keriput, diam bak patung yang tengah dipaku di balik meja yang usianya hampir menyainginya. Jiwanya hilang setengah, tak ada kehidupan dalam jenak matanya. Baju yang dikenakannya lusuh, seolah-olah paham betul bagaimana menjadi kawan terdekat dalam perjuangan kakek itu.

       Sekali lihat, semua orang agaknya sepakat untuk mencetuskan tak ada yang menarik dalam kedai kopi iniㅡterlebih kakek tua itu. Dalam beberapa waktu tertentu, perempuan itu rela untuk bertentangan dengan dominasi khalayak manusia. Saat orang-orang pergi ke kafe di pusat kota, ia akan tetap duduk sendiri dalam kedai kopi ini. Meski tiap kali datang selalu dengan pertanyaan 'apakah kedai kopi itu masih bertahan sampai hari ini?'.

       Kalian pernah merasa bumi dan seisi penduduknya terasa sangat menyebalkan? Ara cukup sering merasakannya. Ini kali keduanya kembali merasakan perasaan seperti ini di tahun 2023. Entah karena sedang PMS atau karena beban perkuliahannya sedang gila-gilanya. Ara mengakui bahwa regulasi emosinya sangat buruk. Ia mudah 'meledak' di waktu-waktu sensitif seperti saat ini.

       "Permisi."

       Lamunan Ara teralihkan karena suara bel di pintu masuk diiringi suara 'permisi'. Cukup mengejutkan karena ternyata ada orang yang berkunjung ke sini. Terkejut mengetahui fakta bahwa kedai kopi ini diketahui oleh orang lainㅡsejujurnya, ia sempat berpikir jika kedai kopi ini hanya ada dia sebagai satu-satunya pengunjung yang datangㅡdan bertamu di siang hari yang panas. Ah, kapan memangnya Yogyakarta tidak panas?

       "Bisa pesan ... kopi?" Laki-laki itu terlihat ragu saat bertanya kepada kakek tua yang masih bergeming atas kehadirannya. Semua orang yang datang mungkin akan sama ragunya dengan ketersediaan bahan pangan di kedai kopi ini. Sejujurnya, kedai kopi ini lebih terlihat seperti tempat tua yang tak sengaja memiliki bahan kopi untuk dijual dibandingkan dengan kedai kopi.

       "Tentu. Pesan saja." Kakek itu bersuara setelah batuk.

       Ara menghela napasnya lalu mengalihkan pandangan, sadar bahwa tidak ada gunanya memikirkan laki-laki asing yang baru saja datang. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena laki-laki itu berdiri membelakangi Ara. Kemejanya abu-abu tua, dimasukkan dalam celana serta lengan kemejanya digulung sesiku. Meski ia terlihat berpakaian sangat rapi, tapi Ara memperkirakan laki-laki itu seumuran dengannya. Sosok itu terlihat tidak asing, tapi juga asing dalam satu waktu.

       Oke, ngapain bahas dia lagi?

       Tangan Ara menggerakkan kursor laptop dan kembali berselancar di internet. Ia sedang mencari jurnal-jurnal untuk tesisnya. Bukan, Ara bukan termasuk mahasiswi rajin yang senang bimbingan bertemu dosen. Hanya saja, besok jadwal bimbingannya dan suasana hati Ara sedang tidak baik. Akhirnya, Ara terpaksa mengerjakan tesis di luar kamar indekos. Ini kedatangannya yang ketiga. Meski tempat ini terkesan sangat tua, Ara tidak bohong bahwa suasananya terasa nyaman. Terlebih lagi wangi kopi di ruangan seperti memberi terapi khusus untuknya.

       Ara sedang mengejar target wisuda akhir tahun ini. Di hari wisudanya saat S-1 dua tahun silam, ia tidak pernah menyangka menjalani hari sebagai mahasiswi Magister Profesi Psikolog akan seberat 'ini'. Serius, menjadi mahasiswi Magister Profesi Psikolog rasanya sangat beratㅡsetidaknya untuk Ara dan segala over thinking di kepalanya.

       "Ara?"

       Perempuan itu mengangkat kepalanya saat namanya tiba-tiba dipanggil oleh seseorang. Sambil melepas ear phone di telinga, mata Ara menangkap sosok laki-laki tadi tengah berdiri di depannya. Laki-laki itu menaikkan alis, seolah terkejut atas kehadiran Ara.

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang