[31] Frame

1.1K 272 22
                                    

       Tarik napas, buang.

       Mata perempuan itu menatap langit kamarnya sembari mengatur sirkulasi udara yang masuk ke pernapasannya. Sekelilingnya berantakan—situasi yang sangat bukan Ara. Tumpukan buku dan kertas revisi skripsi berantakan di meja belajarnya. Buku kuliah di rak berada di posisi tak beraturan dan kertas naskah Frame terletak di sampingnya.

       Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB, masih terlalu dini untuk over thinking. Ara merasa cemas karena pagelaran drama besok. Semuanya tengah merundang isi kepalanya, berebutan untuk diberi atensi. Bagaimana jika besok gagal? Bagaimana kabar keluarganya di Bandung? Apakah skripsinya akan lancar? Banyak hal yang menganggu pikirannya saat ini.

       Tarik napas, buang.

Keinginannya untuk kembali mengambil cutter muncul. Ia melirik laci mejanya yang tertutup rapat. Menimbang-nimbang pilihannya untuk meredakan emosinya saat ini.

       Satu sayatan gak apa-apa, ya?

       Baru akan merealisasikan keinginannya untuk mengambil cutter, ponsel Ara berdering. Perempuan itu urung mengulurkan tangan ke laci meja, lantas mengambil ponselnya. Telepon dari Tisa.

       "Teteh," panggil Tisa begitu nada sambung telepon berganti dengan suara kakaknya. Tidak ada semangat dalam nada suaranya. Semangatnya raib seiring waktu berjalan di dunianya yang runtuh.

       "Kenapa, Sa?"

       Tisa tidak menjawab. Suara isakan perlahan terdengar mengganti kesunyian yang melingkup.

       "Tisa," panggil Ara lembut. "Tisa kenapa? Lagi ada masalah?"

       "Tisa nginep di rumah Bibi," kata Tisa di tengah isak tangisnya. "Mama makin sering marah-marah dan ngelempar barang. Tisa takut."

       Bola mata Ara terpejam bersamaan dengan tarikan napasnya yang berat. "Tisa udah di rumah Bibi sekarang? Tisa nggak sendiriankan?"

       "Udah. Bibi jemput Tisa tadi sore karena Tisa telepon. Tisa takut sama Mama."

       "Nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin, ya. Tisa istirahat aja."

       "Tapi Bibi bilang mau bawa Mama ke rumah sakit."

       "Mama sakit?"

       "Buat ketemu psikiater."

       Ara menahan dirinya sekali lagi. Perannya sebagai kakak mengurungkan niatnya untuk ikut menangis di situasi tidak sehat sekarang. Ia harus terlihat baik-baik saja di depan adiknya. Harus terlihat tegar. Harus menjadi tempat bersandar untuk adiknya yang tengah kebingungan.

       "Sekarang Tisa istirahat, ya. Selesain dulu nangisnya sampai lega. Habis itu cuci muka. Semuanya lagi nggak baik-baik aja sekarang, tapi semua bakal baik-baik aja nanti. Tisa percaya?"

       "Percaya."

       Ara menghela napas lagi.

       "Teteh."

       "Iya?"

       "Tisa kangen Papa."

       "Teteh juga." Suara Ara bergetar, ingin kembali menangis. Kepalanya pusing dipenuhi beban yang meredam di dalam sana.

       "Tisa juga kangen Mama yang dulu," kata Tisa pelan. "Tisa sayang Teteh."

       Ara tersenyum getir. Setelah sambungan telepon mati, perlahan tangisannya pecah saat menyadari bahwa Tisa bukan adik kandungnya. Perempuan baik yang memberi afek positif dan mengajarkan Ara emosi baik di dunia ini bukan adik kandungnya.

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang