[15] Kelekatan

1.6K 358 76
                                    

       "Fal, jadi rapat?"

       Rifaldy yang sedang berbaring di ruang PKM sambil memainkan ponselnya menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Alisnya bertautan melihat Aksa berdiri di ambang pintu. Matanya menyorot tak sabar ke arah Rifaldy, menuntut agar Rifaldy segera menjawab pertanyaannya.

       "Hah?"

       "Jadi rapat senat nggak?" tanya Aksa lagi. Ekspresinya benar-benar serius. Seolah-olah, jika pertanyannya tidak dijawab dengan cepat, ada sebuah bom yang akan meledak detik ini juga.

       "Lah, ngapain malah nanya? Kan ketua senatnya kamu?"

       "Oh, iya, ya."

       Kepala Rifaldy sedikit miring, semakin bingung dengan rekan kerjanya di senat ini. Sebenarnya, ia sudah terbiasa dengan ketidakjelasan Aksa. Laki-laki itu sering mendadak aneh karena otaknya memproses informasi sangat lama (baca: lemot) di saat-saat genting. Terkadang Rifaldy bersimpatik pada fans Aksa yang hanya mengetahui sifat dan kebiasaan Aksa dari luarnya saja.

       "Kemarin janji rapat jam berapa, sih?" tanya Aksa.

       "Lima."

       "Sekarang jam tiga lewat."

       Rifaldy ikut melirik jam dinding di ruang PKM.

       "Cukup kan, ya, Semarang Bawah-Tembalang dua jam pulang-pergi? Nggak bakal telat, kan, ya?"

       "Tergantung. Kalau ke Semarang Bawah cuma ngucapin assalamu'alaikum ke monumen Tugu Muda terus balik lagi ke Tembalang, ya ... cukup."

       Aksa memutar bola matanya. "Apaan, sih? Nggak jelas."

       "Ya, Tuhan. Yang nggak jelas siapa, sih, Sa?" tanya Rifaldy sambil memijit keningnya. Mendadak ia menyesal maju menjadi wakil senat waktu itu jika tahu partnernya akan seaneh Aksa. "Mau ngapain emang?"

       "Delsa."

       "Kenapa Delsa?"

       "Ban motornya bocor, dia di daerah Simpang Lima. Aku ke sana, ya, Fal. Kalau agak telat dikit, tolong koordinir rapat, ya!"

       Mata Rifaldy terbelak. "Kamu lebih milih perempuan daripada senat?"

       "Ini namanya empati, Rifaldy."

       "Empati apa bucin?"

       "Siapa yang bucin?"

       Rifaldy memutar bola matanya. "Aku, Sa. Aku yang bucin, bela-belain ke Semarang Bawah, padahal bentar lagi ada rapat. Emang aku doang manusia paling bucin sejagat raya."

       Aksa tidak menjawab. Ia meletakkan tasnya di dalam ruang PKM lalu menatap Rifaldy. "Nitip, yak."

       Pintu ruang PKM tiba-tiba terbuka. Faiz berdiri di ambang pintu, mengitari pandangannya ke dalam ruang PKM. "Nah, ada Aksa. Kebetulan banget, aku lagi butuh bantuan kamu."

       "Sorry, sibuk," tolak Aksa langsung.

      Rifaldy mendecih. "Mau ngebucin dia, Iz."

        "Siapa? Aksa?" Faiz masuk ke ruang PKM, tertarik.

       "Iya."

       "Enggak." Aksa memutar bola matanya. Sebentar lagi gosip tentangnya pasti mulai mengudara di telinga anak senat dan anak BEM. "Rifaldy kok dipercaya?"

       "Dia bela-belain ke Semarang Bawah, Iz, padahal bentar lagi mau rapat senat!"

       "Wih, ketemu Ara, ya?"

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang