[33] Inner Child

1.5K 283 19
                                    

Inner child adalah sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari masa kecil (John Brasdshaw, 1990). Anak kecil di umur 6-7 tahun akan sangat mudah mengingat kejadian yang mereka alami sehingga hal tersebut akan terbawa dan membentuk kepribadian saat dewasa.

*

       "Halo, Ara."

       Seseorang perempuan berkerudung cokelat menyambutnya saat tangan Ara membuka pintu ruangan. Ruangan itu putih bersih, sudah akrab dalam pandangan matanya. Terdapat meja yang berada di tengah-tengah ruangan dengan kursi sofa yang di tiap sisi.

       Ara menutup pintu lalu tersenyum kecil untuk balas menyapa. Suhu udara ruangan sedikit dingin—atau mungkin karena respons pertama kulitnya yang baru saja bertabrakan dengan suhu panas di luar lalu disuguhi suhu dingin dari AC.

       "Gimana kabarnya?" tanya Mbak Tara. Wanita itu mengulas senyum teduh, memberi kesan menenangkan untuk Ara yang lupa rasanya aman.

       "Baik."

       "Gimana kesibukan kuliahnya?"

       "Ya ... gitu," jawab Ara lalu tersenyum getir. Menjelaskan kegiatan yang dilakukan terdengar sederhana, tapi kenapa ia selalu susah menjabarkannya?

       "Baru pulang kuliah, ya?"

       "Iya. Habis bimbingan skripsi."

       Mbak Tara tersenyum kecil sembari mengangguk. "Sudah siap untuk hari ini?"

       Ara ikut mengangguk. Ini pertemuan ketiga bersama Mbak Tara, psikolog yang kembali didatanginya. Ara mengingat jelas alasan pertamanya datang ke salah satu rumah sakit di Semarang dua tahun silam: ia ketakutan. Ara yang masih shock dengan kecelakaan yang menimpanya harus dipaksa 'pulih' tanpa dukungan keluarganya. Semarang menjadi pilihan terbaik untuk kabur karena tidak ada siapa-siapa di sini. Di kehidupannya yang sepi, Ara semakin sendirian.

       Saat itu, datang ke psikolog membuat perasaannya lebih baik. Ia senang saat dirinya didengarkan. Ara senang saat seluruh luapan emosi yang terpendam di dalam dadanya dapat keluar—karena selama ini, Ara hanya akan melukai tubuhnya untuk dapat merasakan ketenangan. Ia merasa tenang saat dapat dituntun untuk bercerita sementara lingkungannya selalu menuli pada keluh kesahnya.

       Namun, saat itu Ara berhenti datang ke psikolog setelah beberapa pertemuan. Ia lebih memilih larut dengan tugas-tugas kuliahnya sebagai pelarian. Menutup diri dari dunia dan membiarkan dirinya kesepian. Ara tahu betul keputusannya tidak tepat, tapi perempuan itu tetap mengambil keputusan itu. Lagi pula, kegiatannya untuk menyakiti dirinya sendiri sudah tidak dilakukannya waktu itu.

       Namun akhirnya, setelah berbagai kejutan yang menimpanya dan regulasi emosinya kian buruk, Ara memilih untuk kembali datang ke psikolog karena kelelahan. Ia lelah karena kembali meluapkan emosinya dengan melukai tubuhnya. Ia lelah dengan pikiran buruknya yang senang menertawakannya. Ia lelah dengan relasi sosialnya yang tidak pernah berjalan mulus karena permasalahan utama ada pada dirinya.

       Ara kelelahan. Ia ingin ditolong untuk keluar dari lingkar setan yang tak berujung ini.

       "Gimana kabar Mama?"

       "Baik," jawab Ara lalu kembali diam. "Mama masih rutin datang ke psikiater. Rutin minum obat juga dan keluarga Mama dukung Mama penuh."

       Mbak Tara tidak langsung menjawab. Wanita itu masih menatap Ara, menunggu kelanjutan ucapan Ara yang kerap kali dipenuhi jeda.

       "Enak, ya. Mama punya keluarga yang ngedukung selama proses pemulihannya. Saya nggak punya."

       "Kamu pernah ingat, kenangan saat kamu didukung keluarga?"

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang