[19] Bom Waktu ⚠️

1.6K 334 28
                                    

WARNING

Part ini memuat adegan self injury. Tolong diskip kalau merasa ngga nyaman. Kalau kamu sedang merasa sedang tidak baik atau memiliki pikiran untuk itu, tolong cari bantuan. Kamu enggak sendirian. You're good enough. You're special. You've working hard. Thank you for your existence.

If you need some help, please go to professional or call:

- Layanan gawat darurat Indonesia: 119

- Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes: 021500454

- LSM Jangan Bunuh Diri: 02196969293

- Into The Light: intothelight.email@gmail.com atau buka laman 'Pendampingan' dalam situs: https://intothelightid.wordpress.com/

Sumber: kompas.com

I love you.

***

        21.45 WIB.

        Lampu belajar menyala di atas meja, menyinari buku yang dipenuhi stabilo untuk memberi tanda di beberapa paragraf. Perempuan itu sesekali meringis saat otaknya mulai buntu mengetik sesuatu. Ia membaca ulang ketikannya di laptop, melirik berbagai buku yang terbuka di mejanya, lalu mendesah. Kenapa mengerjakan KTI menjadi sesulit ini?

        Matanya menangkap kertas post it yang sengaja ditempelnya di dinding meja belajar. Post it dengan target-target kuliahnya selama semester enam, salah satunya adalah menang lomba KTI. Perempuan itu mendengus. Kalau seperti ini, jangankan menang, KTI-nya selesai tepat waktu saja terdengar mustahil.

        "Ayo, Ra. Fokus. Fokus." Ara menyemangati dirinya sendiri. Ia mengambil kaleng kopi instan di sudut meja belajar lalu meneguk habis isinya. Berharap agar kafein di kopi mampu membuatnya terjaga sepanjang malam dan KTI-nya bisa segera selesai.

        Saat tangannya mulai kembali mengetik isi KTI, ponsel Ara berdering. Perempuan itu sedikit terlonjak, buru-buru mengambil ponselnya. Alisnya bertautan melihat panggilan telepon dari Mama. Tidak biasanya Mama menelepon terlebih dahulu.

       "Halo, Ma?"

        "Belum tidur?"

        "Belum," jawab Ara dengan nada menggantung. "Ara lagi ngerjain tugas ... buat ikut lomba."

        "Oh."

        Bola mata Ara bergerak bingung. "Iya," balasnya.

        "Libur semester pulang?" tanya Mamanya yang lebih terdengar seperti perintah di telinga Ara. "Terserah, sih. Itu juga kalau kamu ingat punya rumah di Bandung. Kalau pulang enggak apa-apa, enggak pulang juga enggak apa-apa. Toh kamu kalau pulang juga sama aja kayak kamu enggak pulang. Sama-sama kayak enggak ada."

        "Ara usahain pulang."

        "Uang udah Mama transfer."

        "Makasih, Ma."

        "Emang, ya, Mama cuma jadi bank yang ngeluarin uang buat kamu."

        "Enggak, Ma," kata Ara cepat. "Ara bahkan nggak pernah mintaㅡ"

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang