[14] Memori

1.6K 360 36
                                    

       "Kenapa perlu sebuah stimulus untuk membangkitkan ingatan?"

       Kelas hening saat dosen melemparkan pertanyaan untuk membuka sesi perkuliahan. Dosen itu memerhatikan mahasiswanya, menunggu seseorang mengangkat tangan dan menjawab. Pertanyaan yang dilontarkannya sederhana, seharusnya sudah dipelajari sejak semester satu. Terkadang mahasiswa mengetahui jawaban atas pertanyaan dosen, tapi takut untuk menjawab.

       "Jawab aja. Saya nggak gigit."

       "Izin menjawab, Pak." Bima mengangkat tangannya. "Ingatan manusia terbagi menjadi dua, long term memory (memori jangka panjang) dan short term memory (memori jangka pendek). Sebuah memori akan tersimpan dan kita butuh stimulus untuk merangsang ingatan agar hadir. Pasti akan membingungkan jika semua ingatan keluar di waktu yang bersamaan."

       "Benar." Dosen tersebut mengangguk-angguk. "Ada tanggapan lain?"

       Ara mengangkat tangannya. Setelah dipersilakan berbicara, ia bersuara, "Karena jika semua ingatan bisa 'keluar' tanpa stimulus, otak akan ter-distract. Jadi, stimulus ada untuk membangkitkan ingatan lama. Misalnya, saat saya sedang diam dan tidak sengaja melihat sebuah pulpen, ingatan saya terkait pulpen bisa kembali hadir karena pulpen menjadi stimulus untuk merangsang ingatan tersebut."

       Dosen tersebut mengangguk. "Kadang kita ngerasa udah lupa sama seseorang atau sesuatu, padahal kita nggak sepenuhnya udah lupa. Kita hanya punya jeda waktu untuk tidak mengingatnya," jeda sebentar, "Memori yang tersimpan di long term memory bukan berarti menghilang. Benar, jika ingatan tidak di-recall, ingatan tersebut dapat terhapus. Tapi, kadang ada situasi di mana kita merasa sudah 'bebas' dari sebuah memori, padahal kita hanya sedang menjeda. Karena apa? Karena belum ada stimulus yang benar-benar kuat untuk menarik kembali ingatan itu."

       "Itu kenapa semakin kita maksa buat lupain seseorang, semakin kita ingat orang itu, ya, Pak?" Faiz bersuara, mengundang tawa kecil dari teman sekelasnya.

       "Benar, Faiz."

       "Pak, apakah menghindari ingatan dengan memaksa melupakan merupakan hal yang sama?" Ara tanpa sadar membuka suaranya kembali. Setelah menyelesaikan pertanyaannya, ia menutup mulutnya dengan tangan kanan. Terkejut karena ia menyuarakan isi hatinya.

       "Hmm." Dosennya bergumam sesaat. "Menurut saya, iya. Bukannya memaksa untuk lupa salah satu caranya adalah menghindar? Kita menghindari perasaan tidak nyaman terkait memori itu dan memaksa agar segera lupa. Pertanyaannya, mau sampai kapan kita terbelenggu?"

       Sampai kapan?

       Perkuliahan selesai tepat pukul tiga sore. Ara masih membereskan barang-barangnya saat Nina sudah berdiri dan siap untuk keluar kelas. Perempuan itu melirik jamnya sekali lagi sembari mengingat-ingat ada jadwal apa setelah ini.

       "Balik nggak, Ra?"

       "Aku ada rapat Frame. Bentar lagi libur UAS, jadi banyak hal yang dipersiapin sebelum libur dan rapat online."

       Mata Nina terbelak. "Eh, iya, ya? Ini udah pertemuan ke-13. Tiga minggu lagi udah UAS. Waktu jalan cepat banget, ya? Kayaknya baru kemarin kita UTS terus kamu drop gara-gara kecapaian dan kebanyakan minum kopi."

        Ara tertawa kecil. "Katanya, waktu bakal kerasa cepat kalau kita nikmatin kejadian yang terjadi. Kamu nikmatin banget semester enam, ya?"

       "Lucu. Mana mungkin bisa nikmatin semester menuju tua gini?! Tahu nggak, sih, Ra? Seminar proposalku masih stuck di bab dua gara-gara alat ukurnya. Nyesel ngambil kuantitatif."

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang