[2] Mahasiswa dan Kafe

3.6K 572 120
                                    

          Sore ini, suasana kafe tidak terlalu padat. Salah satu hal yang selalu membuat Aksa memilih sore sebagai waktu kumpul rapat paling efektif karena kafe (dan tempat rapat lainnya yang biasa digunakan oleh mahasiswa) masih lengang. Berbanding terbalik saat malam hari. Ia pernah datang ke Antarakata—kafe yang didatanginya saat ini—di malam hari dan ia sama sekali tidak menemukan kursi kosong. Padahal, Aksa sudah berniat untuk mengerjakan tugas di kafe karena kamar indekosnya sangat berantakan. Kepalanya selalu berdenyut melihat kondisi kamarnya yang tidak pernah rapi, tapi tak pernah menyempatkan diri untuk membereskan kamarnya. Sebagai ketua senator mahasiswa (Senat Fakultas), ia secara sadar tak sadar mendedikasikan dirinya untuk berada di kampus berjam-jam. Kamar di indekos hanya dijadikannya sebagai tempat tidur dan tempat mandi.

          Kafe dan mahasiswa adalah objek yang melekat—entah siapa yang memulai untuk menggabungkan dua kata itu menjadi sebuah keakraban. Lebih dari dua tahun berada di lingkar organisasi mahasiswa, Aksa hafal betul ke mana uang bulanannya sering habis. Ia bisa ke kafe seminggu tiga kali saat program kerja (proker) sedang padat-padatnya. Setiap datang ke kafe, ia minimal memesan vanilla latte yang harganya Rp18.000. Minimal, itu tandanya ia bisa memesan menu lain kalau rapat masih berlangsung lama.

          "Kemarin ada yang chat di OA SM. Katanya, banyak barang yang ketinggalan di kelas, terus besoknya pas dicek hilang. Nggak tahu diamanin sama satpam, nggak tahu emang hilang dengan sendirinya. Menurut kalian gimana?" Danu, staf ahli bagian Medinfo yang bertanggungjawab untuk memegang official account SM (Senat Mahasiswa), bersuara setelah semua orang berkumpul sore ini.

          "Kayaknya, emang ada hantu, deh, di Psikologi," kata Tiara tiba-tiba. Sekretaris jendral di senat itu memajukan badannya sebelum berujar, "Aku sering dengar cerita horor, terutama di lantai 4 dan lantai 5. Dua lantai itu kan sepi banget."

          Perkataan Tiara terdengar menarik di telinga orang-orang yang memiliki rasa penasaran cukup tinggi. Lima pengurus Senat langsung menatap Tiara penasaran, kecuali Danu yang tidak suka bergosip dan Aksa yang sedang malas nimbrung. Setiap rapat, pasti selalu ada bahan obrolan yang akan ditarik ke jalur lain. Akhirnya, mereka justru membahas hal yang tidak penting sambil tertawa. Sampai tiba-tiba tersadar bahwa mereka sudah berada sangat lama di kafe, baru akhirnya kembali serius membahas topik awal. Aksa tidak suka dikekang, karena itu ia enggan mengekang teman-temannya untuk selalu berdiskusi serius. Jadi, selagi masih wajar dan tidak melewati batas, Aksa membiarkan mereka untuk bercanda selama rapat.

          "Iya! Ingat nggak, sih, waktu kita rapat di depan lift lantai empat dua minggu yang lalu?" tanya Tiara yang mendapat anggukan dari teman-temannya. "Waktu itu kan udah agak malam, pintu lift tiba-tiba kebuka dan kucing yang biasa ada di fakultas tiba-tiba keluar. Waktu itu kita ketawa, soalnya lucu lihat kucing keluar dari lift sendirian. Tapi kalau dipikir-pikir, gimana caranya kucing itu mencet tombol lift sendirian?"

          Danu dengan pemikirannya yang realistis berdecak. Ia berujar, "Ya mungkin aja ada orang yang naik lift dari basement, terus salah pencet ke lantai empat, padahal mau ke lantai tiga. Jadi, dia keluar di lantai tiga, kucingnya keluar di lantai empat karena udah kepencet tombol lift-nya."

          "Nah, setuju. Nethink mulu, sih, Mbak Tiara!" kata Iris sambil tertawa.

          "Hm ... iya juga, sih." Tiara manggut-manggut. "Eh, pernah dengar cerita di lantai lima? Katanya, ada orang yang mau ke lantai lima buat sholat maghrib. Terus pas udah selesai sholat, kondisinya kan sepi banget, tapi dia ngerasa kayak ada yang ngikutin. Eh, pas mau mencet tombol lift, belum juga dipencet tiba-tiba tombolnya udah nyala sendiri!"

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang