Memasuki ujian tengah semester selalu menjadi masa-masa padat untuk Ara. Mengatur dan menilai hasil asistensi anak semester empat, belajar untuk persiapan UTS, ikut diskusi kelompok belajar (salah satu proker BEM Riskel dan Ara mendaftarkan dirinya sebagai tutor untuk anak semester dua/empat setiap akan UTS/UAS), dan sekarang ia diterima menjadi penulis Frame.
Dua minggu yang lalu, Ara memberi berkas naskah drama yang pernah ditulisnya saat SMA hanya untuk pengalihan emosi negatifnya karena pulang dari Bandung membuat pikirannya campur aduk. Ia menjadi gegabah untuk mendaftarkan diri ikut kepanitiaan kampus—suatu hal yang tidak disukainya—dan ternyata naskahnya lolos.
Satu pelajaran berharga: jangan pernah mengambil keputusan saat sedang marah.
Hari ini ia sedang menjadi tutor anak semester empat untuk persiapan UTS besok Senin. Tadi malam, ia baru bisa pulang nyaris pukul sepuluh karena harus rapat bersama anak acara Frame dan pagi ini ia harus datang ke kampus untuk tutor. Jauh di dalam dirinya, ia senang karena memiliki banyak waktu sibuk sehingga pikirannya tidak bebas berkelana, tapi sepertinya tubuhnya mulai memberikan penolakan. Kepalanya pusing sejak tadi bangun tidur.
"Mbak Ara," panggil salah satu anak bimbingannya. "Mbak ... mimisan?"
Semua kepala menoleh ke Ara. Tangan Ara menyentuh hidungnya yang sedikit perih, ia baru sadar noda merah keluar dari hidungnya.
"Maaf," katanya lalu berdiri. Ara buru-buru melangkah keluar ruangan menuju wastafel kamar mandi. Kepalanya semakin berdenyut saat melihat darah yang masih belum berhenti keluar. Seharusnya ia tadi membawa sapu tangan atau tisu untuk menahan mimisannya.
Ara baru selesai dengan kegiatannya sepuluh menit setelahnya. Ia membasuh mukanya lalu menatap pantulan wajahnya yang tampak mengerikan. Lingkar hitam di mata, rambut acak-acakan, dengan pandangan mata sayu. Bingkai wajahnya tampak sangat menyedihkan.
*
"Tadi jawaban kasus Pak Toyo apa, sih, Ra? Aku bikin diagnosisnya PTSD."
Suara Nina sedikit berdengung di indra pendengaran Ara. Perempuan itu menghentikan kegiatannya membereskan meja. Tangannya menggantung sembari menundukkan kepala. Dua minggu terakhir ini, kepalanya sering berdenyut, terlebih lagi saat ia mulai minum banyak kopi untuk tetap terjaga sampai tengah malam agar tetap belajar untuk UTS. Namun kali ini, denyutan kepalanya lebih kuat dari biasanya.
"Ra?" panggil Nina.
"Kayaknya emang PTSD, deh, Nin." Bima, salah satu orang yang masih berada di kelas setelah UTS selesai, ikut nimbrung. "Soalnya kan ada hal dahsyat yang nimpa Pak Toyo dan banyak ciri-cirinya, salah satunya Pak Tayo itu kerap kali menghindari penyebab stressor-nya."
"Ah, kalau kamu udah bilang PTSD, berarti jawabannya emang itu. Thanks, Bim!" kata Nina senang karena jawabannya sama dengan salah satu orang pintar di angkatannya.
"Eh, Ra," panggil Bima. "Katanya kamu jadi penulis di Frame, ya?"
"Iya, udah lolos malah." Nina yang menjawab. "Si Ara suka bikin kaget emang."
"Aku kira kamu nggak tertarik sama proker di fakultas," kata Bima sambil mengangkat bahunya. "You know ... mawapres kan target lomba atau ikut kepanitiaan minimal tingkat nasional. Lagi gabut, ya, Ra, mangkanya iseng daftar kepanitiaan fakultas?"
Ara memegang kepalanya yang semakin berdenyut. Ia sudah menahan pusing sejak mengerjakan UTS asesmen dan intervensi klinis satu jam yang lalu, sekarang ditambah lemparan bom oleh Bima. Kepalanya semakin kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnet [Selesai]
Romance[Trigger / content warning: self injury, toxic family, negative vibes] Ara tidak pernah menjadikan 'mahasiswa berprestasi' sebagai tujuan utamanya di dunia perkuliahan. Cukup dengan IPK yang memuaskan agar dapat membuktikan pada mamanya bahwa ia...