[24] Satu Per Satu

1.3K 309 12
                                    

       Sepi.

       Ara kira, fakultasnya ramai siang ini karena lapangan parkir dipenuhi beberapa motor dan mobil. Namun saat kakinya menapaki tangga dan masuk ke ruangan Japsi di lantai satu, ia sama sekali tidak menemukan siapapun di lorong lantai satu.

       Sebenarnya tidak aneh karena perkuliahan semester ini sudah resmi selesai dua hari yang lalu. Tidak ada lagi alasan agar mahasiswa datang ke kampus. Mungkin hanya dosen yang datang untuk mengurus kepentingan fakultas lainnya dan mahasiswa-mahasiswa yang masih memiliki keperluan seperti Ara.

       "Ara!" sapa Nata, salah satu asdos mata kuliah Asemen Inteligensi, saat menangkap sosok Ara di balik pintu Japsi. "Sini masuk!"

       Bibir Ara tersenyum sungkan saat masuk ke ruang Japsi. Sudah ada tiga asdos yang berada di dalam ruangan karena seluruh asdos dari tiap kelas hari ini akan membereskan alat tes dan mendata perlengkapan tes.

       "Maaf terlambat."

       "Enggak, kok. Kita juga baru mulai," sahut Ira dengan pandangan yang tetap berfokus pada alat tes TAT. "Gabung aja."

       Ara ikut duduk di samping Nata yang tengah membuka alat tes WAIS. Ia berdeham. "Aku bantu, ya," izin Ara sambil mengambil kotak WAIS di dekatnya.

       "Btw, Bu Dini datang jam berapa?" tanya Nata, menyadari dosen penanggungjawab Japsi belum hadir di ruangan.

       "Enggak tahu. Lagi di jalan kali," jawab Kia.

       "Ini TAT berdebu banget, ya. Jarang dipakai, sih," kata Ira sambil meniup salah satu gambar TAT di tangannya.

       "Iya, ya. Kenapa matkul ini fokus praktikumnya selalu ke Wechsler?" timpal Nata. "Ngomongin Wechsler, aku ada cerita lucu pas lagi ngedampingin tes WAIS bareng anak semester empat di kelasku!" seru Nata.

       Ara menoleh sebentar ke arah Nata. Setelah berfokus pada pengecekan alat tes, ia sama sekali tidak berniat menimpali obrolan yang sedang berlangsung.

       "Waktu itu kan anak semester empat kelasku lagi praktikum WAIS, ya. Nah, mereka perkelompok bawa subjek masing-masing. Ada, nih, yang bawa pacarnya sebagai subjek praktikumnya," kata Nata diiringi tawa kecil.

       Tertarik, Kia dan Ira menghentikan pengecekan alat tesnya agar berfokus mendengar cerita Nata.

       "Terus, ya," kata Nata sambil menahan tawanya. "Di WAIS kan ada sub test pembendaharaan kata. Nah, kebetulan di sub test ini pacarnya yang ngasih tes. Pacarnya yang anak psikologi itu perempuan, ya."

       "Terus terus?"

       "Terus dia ngasih kosakata sesuai di buku WAIS. Pas si perempuan nyebut kata 'kapal', masa pacarnya refleks nyebut nama perempuan coba!" kata Nata diakhiri dengan suara tawa.

       "Hah? Sumpah, Nat?" tanya Kia sembari tertawa. "Reaksi perempuan yang ngasih tesnya gimana?"

       "Dia diam gitu beberapa saat, terus nanya 'itu siapa?'. Pacarnya polos banget malah jawab itu nama mantan dia yang anak teknik perkapalan. Sumpah, lucu banget waktu aku ngawasinnya."

       "Kebayang, sih, gimana reaksi perempuannya," kata Ira sambil tertawa. "Untung enggak perang dunia habis itu."

       "Eh, kata siapa, Ra? Si perempuan langsung nutup buku WAIS terus keluar ruangan. Cowoknya sampai minta maaf ke anggota lain terus ngejer pacarnya. Aku udah mau ketawa di sana, tapi untuk menjaga profesionalitas, aku nenangin anggota lainnya sambil nunggu mereka balik ke ruangan."

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang