"Pulang sama siapa tadi subuh?"
Ara sedang mengisi air dari galon saat sebuah suara tiba-tiba mengagetkannya. Kepalanya menoleh, sedikit terkejut saat Mama berdiri dengan setelan baju kantor tengah menatap ke arahnya menyelidik.
"Temen."
"Dia yang biayain kamu?"
Alis Ara terangkat sedikit. "Biayain apa?"
Bola mata Mama bergerak dari atas kepala Ara sampai ujung kaki. Bahunya terangkat, tak terlalu peduli. "Main aman juga kamu, ya."
"Apanya, Ma?"
"Kirain tiba-tiba pulang ke Bandung karena hamil."
Ekspresi Ara berubah datar. Ia sangat menghargai sosok wanita di depannya sebagai orang yang melahirkannya di dunia, tapi kenapa Mama justru tidak pernah melihatnya sebagai anak yang dilahirkannya di dunia?
"Ara enggak pernah macem-macem di Semarang."
"Mama enggak peduli," kata Mama, "Asal pakai pengaman. Ingat, Mama enggak pernah mau bantu kamu buat aborsi atau membesarkan anak haram."
Ara mengepal kedua tangannya, ingin sekali meluapkan amarahnya. Setelah pulang ke rumah dan kembali bertemu, kenapa Mama lebih memilih untuk membicarakan omong kosong daripada menanyai kabarnya?
Enggan menjawab, perempuan itu melangkah masuk ke kamarnya dirundung amarah yang begitu memuncak. Kenapa Mama selalu memberi ujaran kebencian untuknya? Maksudnya, dari sekian banyaknya manusia di dunia ini, kenapa yang membuatnya mengalami trust issue justru Mama? Seseorang yang melahirkannya ke dunia dengan susah payah?
Mata Ara terpejam. Menahan agar gejolak amarahnya tidak meledak, ia menarik napas dalam-dalam untuk mengatur pernapasannya. Merasakan kegiatan yang dirasakan seluruh alat indranya pagi ini. Masih terlalu pagi untuk merasakan amarah.
Tarik napas, tahan, buang napas. Enggak apa-apa, Ra. Jangan nyerah, bisiknya dalam hati.
*
"Teteehh, main, yuk!"
Teriakan Tisa masuk beriringan dengan suara pintu rumah yang dibuka. Tisa berdiri dengan senyum yang terpasang di wajahnya. Kepulangan Ara mampu membuat suasana hatinya bagus seharian. Oleh karena itu, sejak di sekolah Tisa tidak sabar untuk segera pulang dan bermain dengan kakaknya.
"Main apa?" tanya Ara yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Tangannya terbuka lebar untuk memeluk adiknya yang tengah berlari ke arahnya.
"Main monopoli, yuk! Yang kalah beliin 10 es krim di Indomaret!" ajak Tisa. Tanpa mengganti seragam sekolahnya, Tisa berlari mengambil monopoli di kamarnya lalu kembali ke ruang keluarga.
"Kalau Tisa yang kalah, emang ada uang buat bayarin Teteh?" tanya Ara sambil mengocok dadu.
"Ada. Minta aja ke Teteh," jawab Tisa sambil tertawa.
Permainan monopoli berlangsung dengan gelak tawa yang menghiasi. Berkali-kali Tisa menggerutu sebal karena angka dadunya berhenti di negara milik Ara. Permainan ringan seperti sekarang salah satu hal yang Ara rindukan dari kehidupannya saat kecil. Waktu di mana pikiran buruk jarang sekali mampir untuk menggerogoti kepercayaannya pada dunia.
"Teteh!" Tisa tiba-tiba teriak. Padahal Ara yang membayar uang sewa karena dadu yang dikeluarkannya tepat berada di negara Tisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnet [Selesai]
Romance[Trigger / content warning: self injury, toxic family, negative vibes] Ara tidak pernah menjadikan 'mahasiswa berprestasi' sebagai tujuan utamanya di dunia perkuliahan. Cukup dengan IPK yang memuaskan agar dapat membuktikan pada mamanya bahwa ia...