[32] Sorai ⚠️

1.7K 293 54
                                    

       "Kamu bakal pergi?"

       Ara mematut dirinya di depan cermin. Senyumnya sama sekali tak terpasang, hanya menatap datar seseorang di cermin yang menatapnya balik. Lingkar hitam di bawah matanya terlihat jelas. Semua orang yang melihatnya mungkin akan sepakat menaruh kasihan padanya.

       "Apa aku batalin aja, Nin?" Ara bertanya balik. Ia duduk di tepi kasur, bingung sama dirinya sendiri. "I feel so sorry to him."

       "Then?"

       "Aku ngerasa hubungan aku sama Aksa nggak sehat. Aku yang bikin hubungan itu nggak sehat karena nggak pernah mau terbuka sama dia. Juga nggak pernah mau nyari tau tentang dia. Dan aku ngerasa dia orang lain di hidupanku."

       Ini ucapan terpanjang Ara setelah kepulangannya dari Bandung. Jika bukan karena sedang berada di situasi dilema akan pergi ke konser yang diberikan Aksa atau tidak, Ara pasti masih akan tetap menyibukkan dirinya dengan rancangan skripsi atau melamun—menarik diri dari lingkungan sosialnya.

       "Kenapa kamu nggak mau terbuka sama Aksa?"

       "Aku nggak percaya dia."

       "Kenapa kamu nggak percaya dia?"

       "Karena dia 'orang lain'." Ara mengacak-acak rambutnya pusing, tidak peduli jika rambutnya akan berantakan dan ia perlu menyisir ulang nanti. "Dia juga udah punya yang lain," lanjut Ara pelan. Mengingat seseorang yang datang bersama Aksa saat ke Frame minggu lalu.

       "Ara," panggil Nina lembut. "Aku paham perasaan kamu. Ada di posisi kamu mungkin cukup membingungkan, aku pun kalau jadi kamu mungkin nggak bisa setegar kamu. Banyak banget, ya, Ra hal yang terjadi akhir-akhir ini sampai rasanya nggak dikasih jeda waktu untuk bernapas tenang?"

       Ara memejamkan matanya.

       "Nggak apa-apa, masih ada banyak waktu buat nyelesain satu-satu. Karena hubungan kamu sama Aksa dimulai dengan baik, gimana kalau diselesaiin dengan baik-baik juga? Supaya kalian bisa tenang. Dia bisa tenang dari kebingungannya, kamu juga bisa tenang dari pikiran kamu.

       "Nggak apa-apa, ya, Ra buat ngalah sama ego? Sebentaarr aja. Kasih waktu dan ruang supaya kalian berdua bisa saling dengar tentang keinginan masing-masing. Apa yang kalian mau, apa hambatannya. Setelah itu, kalian bisa sama-sama mutusin harus ngapain selanjutnya. Gimana?"

       Setelah sambungan telepon mati, Ara ingin kembali menangis, tapi ditahannya. Ia paham betul suasana hatinya yang menjadi mudah naik turun sejak kematian Papa, tapi otaknya selalu memegang kendali agar berhenti bersikap lemah. Ara sehancur-hancurnya emosi manusia.

      Perempuan itu akhirnya mengalah. Ia membiarkan Aksa tetap datang ke indekos untuk menjemputnya. Boncengan motor Aksa masih terasa sama, laki-laki itu pun masih sama menyambutnya. Semuanya masih sama—mungkin satu-satunya yang berubah hanya perasaan mereka yang dipenuhi kebingungan. Tidak ada obrolan sampai mereka datang di tempat konser dan mengantre dengan ratusan orang di sana. Mereka melebur di keramaian tanpa mengucapkan apa-apa.

*

       Aksa tidak suka keramaian. Satu-satunya alasan untuk Aksa tetap berada di tengah keramaian adalah perempuan di sampingnya.

       Bola mata Aksa bergerak ke arah Ara yang ikut bernyanyi pelan bersama para penonton. Mata perempuan itu terpaku di panggung, mengikuti gerak langkah Nadin dan alunan nada yang menyanyikan lagu Rumpang.

       Banyak yang dipertanyakan oleh Aksa. Kenapa hubungan mereka maju-mundur? Kenapa Ara tidak berkenan menjadikannya definisi dari 'rumah'? Kenapa Ara begitu egois membiarkan pikiran dan perasaannya larut dan dijaganya sendirian sementara Aksa berdiri di luar garis kehidupannya tanpa ingin diajak masuk? Dan kenapa rasanya Aksa ingin menyerah?

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang