[30] Melanjutkan Hidup

1.2K 289 16
                                    

       Dua bulan setelah cerita mengerikan itu, Ara kembali pada aktivitas kuliahnya.

       Dari novel yang Ara baca, tidak pernah ada yang menceritakan bagian setelah pemeran utama kehilangan seseorang yang sangat berarti. Saat itu, Ara selalu penasaran. Apa yang dilakukan oleh tokoh itu? Bagaimana perasaannya selama ditinggalkan? Keterpurukan seperti apa yang akan menghantam tokoh utama?

       Setelah ditinggal pergi oleh Papa, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menangis dan melukai tubuhnya. Dunia semakin mengubahnya lebih jauh, menjadi seseorang yang bahkan tidak dikenali oleh dirinya sendiri. Saat-saat seperti itu, Ara paham kenapa seluruh novel yang dibacanya selalu melewati bagian 'setelah ditinggal pergi'. Karena tidak ada yang bisa diceritakan setelah bagian itu rumpang dalam cerita.

       "Ara."

       Perempuan yang dipanggil bergeming dari posisinya. Kepalanya ditelungkupkan di atas tumpukan tangan. Memejamkan mata untuk membunuh pikiran liar yang masih senang mengganggu kehidupannya.

        Sudah hari keberapa setelah kematian Papa? 40? 50? Ara berusaha melenyapkan berbagai ingatan menyedihkan yang mengantarnya pada jurang keputusasaan. Setelah mengetahui 'kejutan' yang diceritakan oleh Mama, Ara langsung kabur ke Semarang tanpa berpamitan pada siapa pun. Menghabiskan waktu liburnya di dalam ruang persegi panjang dengan merenung, tanpa melakukan apapun yang berarti. Bahkan ia makan hanya saat tubuhnya sudah mulai benar-benar lemas.

       Ara disulap menjadi robot hidup yang tak berjiwa. Dipaksa hidup tanpa punya alasan untuk bertahan hidup. Menyedihkan.

       "Ara," panggil Nina lagi. Nina duduk di samping Ara, ikut menelungkupkan kepalanya di meja sambil menatap perempuan di sampingnya. "Mau jalan-jalan? Keliling Semarang atau ke Ungaran? Supaya nggak pusing."

       Tidak ada jawaban. Ara masih sibuk dengan dunianya.

       Nina menghela napas. Perkuliahan semester tujuh sudah berlangsung dua minggu, tapi tidak ada tanda-tanda Ara mulai membaik. Ara hanya berkutat dengan rapat Frame yang dua minggu lagi digelar, konsultasi ke dosen pembimbing skripsi, dan mengurus magang. Ia hanya berusaha untuk melanjutkan hidupnya seperti manusia pada umumnya.

       "Ara kalau ada kendala skripsi, bilang ke aku, ya. Mungkin aku bisa bantu," kata Nina sambil memainkan rambut Ara yang terkulai ke bawah. "Persiapan Frame gimana, Ra? Lancar?"

       Ara masih tak membuka suara. Ruang kelas lengang oleh kesunyian yang diciptakan Ara sebab pertanyaan Nina tak dipenuhinya dengan jawaban. Nina turut merasakan sedih karena Ara semakin kehilangan dirinya sendiri. Kehilangan orang yang disayang sudah menyesakkan, bagaimana jika ditambah kehilangan dirinya sendiri?

       "Ara."

       Suara panggilan itu mampu menegakkan posisi duduk Ara. Degupan di jantungnya kembali terpantik. Relung kosong dalam dirinya ikut diisi serpihan rindu saat sapaan hangat itu kembali menyapa. Perempuan itu menegang. Tangannya buru-buru meraih tas kuliahnya lalu berlari keluar ruangan. Ia berlari tanpa perlu repot-repot menatap seseorang yang memanggilnya. Sudah berapa kali Ara berlari seperti ini? Tiga kali?

      "Sabar, Sa."

       Aksa mengacak-acak rambutnya sembari menatap kepergian Ara. Ia duduk di kursi sebelah Nina sebelum menghela napas berat. Berbagai urusan merasuki kepalanya dan membuat denyutan pusing. Skripsi, magang, pemira, dan Ara. Perempuan itu benar-benar memilih kabur dari kehidupannya. Tidak pernah memberi satu ruang pun untuknya agar dapat masuk dan menemani.

       Atau ternyata, sejak awal memang ruang itu tidak pernah ada untuknya?

       "Masih ngurus pemira, ya?" tanya Nina. Semester ganjil di awal perkuliahan akan selalu melelahkan untuk anak organisasi. Terlebih lagi Senat yang mengurus keberlangsungan pemira.

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang