Lingkaran setan harus segera dilenyapkan. Itu salah satu alasan yang mendasari kepulangan Ara ke Bandung.
Jantung Ara sudah berdegup kencang sejak ia memesan ojek online ke tempat tujuan yang selalu dihindarinya. Matanya sama sekali tidak dapat menikmati kesibukan Kota Bandung pagi ini. Lalu-lalang kendaraan, pejalan kaki yang memenuhi trotoar jalan, juga Bandros yang selalu ingin dinaikinya—tidak ada yang dapat mengalihkan pikiran buruknya. Otaknya masih dipenuhi deretan pemaknaan negatif yang selalu mampu membuatnya tersesat di lingkaran setan tak berujung.
"Sampai, Teh."
Tubuh Ara semakin memberi reaksi penolakan. Tangannya gemetar saat menyerahkan uang untuk membayar ojek online pesanannya. Perutnya dililit, rasanya lebih sakit dibandingkan rasa nyeri saat datang bulan. Belum lagi seluruh makanan yang ada di dalam perutnya seperti tengah memberontak untuk dimuntahkan.
Aku nggak bisa.
Tapi harusnya bisa.
Pulang aja?
Ra, jangan diperdaya rasa takut.
LARI.
Kaki Ara terpaku di depan pintu selamat datang. Pintu otomatis itu terbuka lebar, seperti tengah menyambutnya untuk datang pada sihir-sihir menyesatkan. Napasnya berderu, pusing dengan pikiran liarnya.
Matanya terpejam. Ia menarik napas dalam-dalam, mengisi rongga dadanya yang terhimpit. Setelah mampu mengatur pernapasannya, Ara mengangguk. Meyakinkan dirinya untuk melawan ketakutan yang menghantuinya.
Bisa. Harus bisa.
Suhu dingin menyambut kulitnya saat kaki Ara memjiaki lantai putih lobi rumah sakit. Matanya menatap awas sudut-sudut rumah sakit, pun hilir-mudik orang dengan seragam yang tidak pernah disukainya; jas putih dokter, seragam suster, dan baju pasien. Ara bersumpah akan selalu membenci segala pakaian yang berhubungan di rumah sakit.
Hingga akhirnya kaki perempuan itu sampai di ruangan yang membuatnya menangis empat bulan silam; saat di mana jaksa di otaknya menjadi maha paling benar untuk menututnya sebagai terdakwa nomor satu. Tidak ada siapa-siapa di sini. Lorong sepi hanya dihadiri oleh dirinya dan seribu ketukan palu mengenai ketakutan.
Tapi emosi dan masalahnya adalah tanggung jawabnya. Oleh karena itu, tangannya membuka ruang inap di depannya dan terisap masuk ke dalam ruangan. Matanya menangkap sosok yang disebutnya sebagai papa, satu-satunya ketentraman yang ia punya dulu sebelum tragedi mengerikan mengusik ketenangannya.
"Papa," panggilnya dengan suara tercekat. Napas Ara seperti dipenuhi racun yang siap membunuhnya dalam hitungan detik. "Ara ... datang," lanjutnya dengan satu tarikan napas.
Tidak ada makhluk hidup yang akan membalas perkataannya. Hanya suara alat medis yang dengingnya memekakkan telinga dan sisipan angin yang memainkan tirai jendela. Sekali lagi, otaknya kembali dihadiri jaksa penutut saat melihat sosok yang dulu selalu terlihat berwibawa namun kali ini terbaring kaku dengan bantuan alat pernapasan.
Badannya luruh, tidak mampu menopang.
*
Ara ingin sekali berlari, tapi rasanya terlampau melelahkan. Pikirannya masih tetap terjerat benang kusut meski kakinya sudah berlari menghindar berbagai stimulus yang menyerangnya. Namun ternyata, datang pun membuat pikiran masih senang menjajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnet [Selesai]
Romance[Trigger / content warning: self injury, toxic family, negative vibes] Ara tidak pernah menjadikan 'mahasiswa berprestasi' sebagai tujuan utamanya di dunia perkuliahan. Cukup dengan IPK yang memuaskan agar dapat membuktikan pada mamanya bahwa ia...