[3] Asistensi

2.6K 529 82
                                    

       "Ra, mau ke mana?"

       Ara melirik Nina yang tiba-tiba bertanya saat ia sudah bersiap untuk keluar kelas, padahal dosen baru selesai menutup pertemuan kuliah siang ini. Tidak biasanya ia buru-buru pergi setelah perkuliahan selesai, mungkin karena itu Nina sedikit penasaran.

       "Asistensi. Udah janjian dari jam 11 padahal," jawab Ara tak enak. Ia melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Jam sudah menunjukkan pukul 11.25 WIB. Di luar ekspetasinya dosen akan terlambat mengajar sehingga perkuliahan selesai mundur hampir setengah jam.

       Nina berdecak. "Sampai detik ini, aku masih heran kenapa ada orang yang sukarela mau jadi asisten dosen. Ada waktu kosong bisa dipakai malas-malasan dan rebahan, kenapa malah milih buat ngurusin tugas-tugas mahasiswa semester bawah?" tanyanya heran sambil geleng-geleng kepala.

       Ara hanya tersenyum kecil untuk menanggapinya. Ia berpamitan dengan Nina setelah dosen keluar dari kelas. Kakinya bergerak cepat menaiki anak tangga ke lantai empat. Meski fakultasnya memiliki lift, sejak awal semester dimulai, peraturan baru berlaku bahwa lift tidak dapat digunakan dari lantai satu sampai lantai tiga. Lift di basement hanya bisa dipencet menuju lantai empat sampai lantai delapan. Karena kelas Ara tadi berada di lantai dua, ia mau tak mau harus menaiki tangga sampai ke lantai empat.

       "Semua panitia udah kumpul? Bentar lagi briefing."

       Langkah Ara memelan saat kakinya menginjak koridor lantai tiga. Matanya mengedar menatap orang-orang yang berlalu-lalang di koridor, rata-rata menggunakan jas almamater kampus, tengah sibuk dengan kegiatan mereka. Setelah dilihat, lengan kiri di jas almamater mereka memiliki logo BEM Fakultas Psikologi. Ara memperkirakan bahwa BEM sedang ada acara saat ini.

       "Halo. Maaf terlambat."

       Ara sampai di lantai empat dan menemukan mahasiswa kelas 5 mata kuliah Psikodiagnostik 3: Asesmen Inteligensi—kelas yang menjadi tanggung jawabnya sebagai asisten dosen—sudah berkumpul di dalam lab psikologi. Ia menyungging senyum kecil lalu duduk menyandar ke dinding.

       "Mulai asistensi sekarang, ya. Kelompok mana yang duluan asistensi?"

       "Kelompok satu, Mbak." Abey, salah satu anggota kelompok satu, duduk di depan Ara. Setelah semua kelompoknya berkumpul, ia membuka lembar tes WISC dan menunjukkan hasilnya. "Kemarin di sub test kosa kata, subjeknya bisa selesai sampai penjelasan kata terakhir, tapi dijeda-jeda gitu, Mbak. Soalnya pas masih jawab setengah kata, dia lari keluar ruangan mau ketemu ibunya. Gimana, Mbak?"

       "Nggak apa-apa, dicatat aja waktunya," jawab Ara. "Capek, ya, ngasih tes ke anak kecil? Sampai lari-larian nggak?" tanyanya diiringi tawa.

       "Capek banget, Mbak," jawab Freya dengan ekspresi lelah. "Waktu tes kan orang tua disuruh nunggu di luar, dia ngambek sampai 15 menit. Sampai kita kasih susu dan permen baru dia nggak ngambek lagi."

       "Nggak cuma itu, Mbak. Di sub test ketiga, dia udah bosan terus minta keluar ketemu ibunya. Pas diantar keluar, dia malah ngajak ke lantai delapan, Mbak! Jadi aku harus naik tangga sampai ke lantai empat karena lift lantai satu sampai lantai tiga mati. Mana dia ngajak lari-larian. Capek banget." Dita ikut bercerita dengan menggebu-gebu.

       Ara tertawa. Ia menutup lembar tes setelah menandai beberapa kesalahan lalu menatap tiga mahasiswa semester empat di depannya. "Nggak apa-apa, namanya juga belajar. Nanti pas jadi psikolog, mungkin kita bakal ketemu klien yang lebih nggak ketebak lagi," katanya. "Enaknya test WISC itu bisa ditunda pelaksanaannya. Kalau misalnya si anak nggak cukup fit di hari tes, sub test selanjutnya bisa dikasih di waktu lain."

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang