EPILOG

2.7K 318 88
                                    

       Menurutmu, apa yang paling menyenangkan dari Bandung?

       Sejak dulu, aku selalu enggan untuk memaknai Bandung sebagai tempat berpulang. Rasanya terlampau berat menitiki tempat peristirahatan di kota yang membuatku tak pernah istirahat. Sebab, satu-satunya yang sejak dulu kulakukan hanya berlari.

       Lucunya, pelarian itu justru menemuiku dengan pemilik bola mata hitam pekat dengan seribu kotak manis miliknya. Laki-laki kelahiran Bumi Pasundan yang kembali kutemui di Kota Semarang.

       Aku selalu suka sorot matanya. Tatapannya hangat dan entah kenapa selalu memicu debaran aneh di dalam dada.

       Kamu pernah bertemu dengan orang yang dapat membuatmu merasa nyaman meski hanya saling diam? Aku pernah.

       Namanya Aksa. Aksa Aji Kandala. Ketua Senat Fakultas Psikologi yang sepertinya kenal dengan seluruh manusia yang ada di kampusku. Jika membandingkan dengan dia, rasanya aku tidak ada apa-apanya. Mungkin sebuah keajaiban seseorang sepertiku pernah masuk ke dalam hidupnya. Seperti partikel debu yang tak sengaja menempel, tapi untungnya dia terima dengan baik.

       Menjabarkan tentang Aksa selalu mengundang perasaan bersalah kembali datang. Aku ingat saat di mana pertama kalinya kami pulang ke Bandung bersama. Saat itu, alunan lagu dari ear phone miliknya mengganti teriakan di dalam kepalaku sebab hujan mendadak datang saat kami berada di jalan pulang menuju rumahku.

       Aksa memang begitu, selalu menenangkan.

       Selesainya hubunganku dan dia sepenuhnya kesalahanku. Aku yang belum berdamai dengan diri sendiri ini berani-beraninya mengiyakan pada ajakan hubungan romantis yang dulunya selalu kuhindari.

      Aku masih ingat jelas ucapannya saat taksi online dari Stasiun Bandung sampai di rumahku. "Kalau udah siap buat cerita, jangan sungkan buat cerita, ya. Aku enggak maksa. Nanti aja, kalau kamu udah siap." Begitu katanya. Ia menenangkanku yang tengah ketakutan karena hujan datang, tanpa menghujamiku dengan puluhan tanda tanya mengenai 'kenapa'.

       Kalimat itu tidak pernah kuanggap serius karena ... entahlah. Pikiranku menganggap bahwa laki-laki itu adalah 'orang lain' yang rasanya tak perlu repot-repot untuk mendengar kisah yang dipenuhi lika-liku di kepalaku. Aneh, kan? Aku mengizinkan dia datang, tapi tak memperkenankan dia masuk.

       Karena itu, mengikhlaskan Aksa adalah satu-satunya pilihan. Aku perlu membenahi diri sendiri sebelum terlibat hubungan romantis dengan orang lain. Itu menjadi sebuah catatan penting di akhir hubungan kami yang selesai tanpa sempat benar-benar dimulai.

       "Ara!"

       Kepalaku menoleh saat mendengar seseorang memanggil namaku. Bola mataku sempat mengedar mengelilingi gedung pesta sebelum menemukan siapa yang memanggilku. Sosok yang tadinya hanya bersemayam di dalam kepala kini disulap nyata hadir dalam pandanganku.

       Dengan tidak tahu malunya, jantungku kembali berdegup dengan ritme cepat. Tidak jauh dari posisi berdiriku, Aksa tengah menatapku dengan pandangan hangat dan menenangkan. Jika dulu jas almamater dengan lambang Senat yang selalu dikenakannya, kali ini pandanganku disuguhi sosoknya yang dibalut jas hitam. Seperti biasa, ia terlihat sangat berwibawa.

       "Hai," sapaku dengan ulasan senyum yang semoga saja tidak terlihat kikuk. "Ngg, jadi ... gimana rasanya?"

       Laki-laki itu tertawa mendengar pertanyaanku. "Gimana apanya?"

       "Semuanya. Ini cukup mengejutkan, seenggaknya untukku."

      "Bener, sih." Aksa mengangguk. "Tapi sebelum itu, ketemu pengantinnya dulu, yuk!"

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang