[6] dan Bandung ⚠️

2.3K 463 41
                                    

       "Teteh jadi pulang hari ini?"

        Ara melirik ke arah adiknya yang duduk di sebelahnya. Senin pagi ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ini hari kedua Ara di Bandung, akan tetapi sore ini ia akan langsung kembali ke Semarang. Banyak hal yang tidak bisa ditinggalkan di Semarang sehingga Ara harus cepat-cepat kembali-meski ia menyadari betul bahwa ia senang karena banyak kewajiban yang membuatnya harus segera kembali ke kota rantauan. Setidaknya, ia sudah menyempatkan dirinya untuk pulang meski hari ini ia harus bolos dua mata kuliah di hari Senin.

       "Iya," jawab Ara sambil memeluk ransel yang berisi baju dan laptop. "Hari ini Teteh udah bolos kuliah demi ketemu kamu, loh. Jangan ngambek," ujar Ara sambil mengacak-acak rambut Tisa.

       "Teteh jahat, ninggalin Tisa sendirian lagi. Pasti Teteh bakal masih lama lagi pulang ke Bandungnya. Ini aja pertama kalinya Teteh pulang di tahun 2020. Sekalinya pulang masa cuma dua hari?!"

       Alih-alih menjawab, Ara justru mencubit pipi Tisa gemas. Tak lama, mobil berhenti di sebuah rumah sakit besar kota Bandung. Ara membayar ongkos transportasi online kepada supir sebelum ia dan Tisa turun dari mobil. Kakinya berhenti melangkah, seolah-olah ada lem yang melekat di lantai lobi rumah sakit. Ia baru dapat memaksakan langkah kakinya setelah Tisa menarik tangannya masuk ke rumah sakit.

       Bau khas rumah sakit menyeruak saat Ara menyusuri koridor. Matanya menatap petugas medis yang berlalu-lalang, pun pasien beserta keluarga yang menemani. Benaknya membawanya ke dalam berbagai pikiran. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali datang ke rumah sakit. Setahun yang lalu?

       "Itu Papa," bisik Tisa kepada Ara. Dari luar ruangan, matanya menatap lekat laki-laki yang terbaring dengan berbagai alat bantu pernapasan di sekitarnya. "Teteh nggak mau masuk?"

        Ara diam sejenak. Ia perlahan mengintip ke jendela kamar yang ditempati oleh papanya. Berbagai emosi langsung menyerangnya tanpa ampun. Air matanya mulai menggenangi kelopak matanya sementara rongga dadanya kembali sesak. Otaknya dengan kejam memutar kejadian yang selama ini selalu dihindarinya, membuat seluruh anggota tubuhnya berteriak untuk sepakat menyalahkan segala kesalahan pada dirinya. Egonya menjadi hakim untuk menghukum dirinya atas masalah yang selama ini dibawanya pergi jauh. Jauh sekali, sampai ia mati rasa.

        "Maaf, Pa," bisik Ara parau. Ia terduduk di depan pintu sembari memeluk kedua lututnya. Kepalanya terbenam, menahan isak tangisnya agar tak semakin menjadi-jadi.

       "Teteh?"

        "Harusnya Teteh yang di situ, Sa."

        Tisa mematung menatap sosok rapuh di depannya tanpa suara. Kedua bahu Ara bergetar, sayup-sayup suara tangis mengisi kekosongan koridor rumah sakit. Tangan Tisa bergerak untuk memeluk tubuh Ara. Mencoba menenangkan tubuh ringkih kakaknya yang terasa melemah.

        Hanya ada suara isak tangis Ara yang terdengar. Tidak ada tenaga medis yang lewat, tidak ada pasien yang terlihatㅡtidak ada makhluk hidup lain yang berada di koridor. Seolah-olah, rumah sakit tengah turut andil memberi Ara hukuman atas kesalahan yang selama ini menghantuinya. Kesalahan yang selama ini membuatnya berlari tanpa tujuan jelas akan ke mana.

        Semesta tengah menghukumnya.

        "Mama." Tisa berdiri saat melihat mamanya datang dengan setelan kantor selang beberapa menit setelahnya. Tisa melirik ke arah kakaknya yang masih tenggelam dalam isak tangisnya lalu kembali menatap mamanya. "Mama nggak kerja?"

        Mama seolah enggan membuka mulutnya untuk menjawab. Bibirnya bungkam sementara matanya menatap lekat anak sulungnya yang terduduk di lantai dengan kondisi acak-acakan. Setelah saling diam beberapa saat, kakinya melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan kedua anaknya di luar ruangan tanpa sepatah kata pun.

        Diam mamanya seperti memberi hukuman tambahan untuk Ara. Ia benar-benar kelelahan sekarang, sulit sekali untuk berhenti menangis.

*

        "Ke Stasiun Bandung, ya, Teh?"

        Sebuah suara menyapa Ara saat ia masuk ke dalam mobil transportasi online pesanannya. Sembari mengangguk, matanya menangkap wajahnya yang sembap dari spion mobil. Ia mengalihkan pandangan dan menutup pintu. Tak lama setelahnya, mobil yang ditumpanginya mulai melaju membelah jalanan Bandung.

        Sudah lama Ara tidak berkunjung ke sini, mungkin hampir setahun. Ada beberapa alasan yang membuatnya tetap bertahan di Semarang meski ia kerap kali merindukan kota kelahirannya. Bibirnya mengukir senyum tipis saat menyadari perubahan Bandung yang semakin terlihat rapi. Bandung selalu menenangkan di beberapa sudut.

        Tangannya mengambil ponselnya yang berada di saku karena ingat belum berpamitan kepada mamanya. Setelah mengirim pesan singkat untuk mama, ia kembali memasukkan ponselnya ke saku.

        "Mau ke mana, Teh?" Supir di depan tiba-tiba bersuara.

        Ara menoleh ke supir di depannya. "Semarang, A'."

        "Oalah, saya kira Teteh asli sini," kata supirnya sambil tertawa. "Ngapain, Teh, ke Bandung? Liburan, ya? Udah ke daerah sini belum? Ini namanya jalan Asia Afrika. Kalau malam minggu ada car free night di sini, banyak yang suka foto-foto."

        Pandangan Ara mengamati jalanan. Ia sama sekali tidak memiliki kenangan berarti di jalanan ini, namun vibes kota lama dengan sejarah-sejarah yang membalut selalu membuatnya nyaman berdiam lama di jalan Asia Afrika sampai Braga. Teduhnya Kota Bandung dirasakannya di jalan ini, entah kenapa.

         "Teteh tahu Pidi Baiq? Yang nulis buku Dilan-jangan rindu, berat-yang itu loh, Teh. Nah, itu di depan sana ada tulisan Pidi Baiq sama tulisan psikolog Belanda gitu, Brouwer namanya. Romantis pisan, Teh, tulisan mereka di sana."

        Kecepatan mobil berkurang saat mereka melewati terowong kecil yang berada di dekat Masjid Raya Bandung. Meski ini masih terhitung pagi, orang-orang sudah mulai sibuk beraktivitas. Pedagang kaki lima, petugas kebersihan, orang kantoran, semuanya bergerak sesuai tujuan mereka. Beberapa orang berjalan di sisi terowongan saat Ara sedang membaca tulisan di dua sisi terowongan tersebut.

         Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. - M. A. W. Brouwer.

         Ara mengulum senyum tipis saat membaca tulisan di dinding sebelah kiri. Ia tidak menolak fakta bahwa Bandung memang 'senyaman itu' untuk dijadikan tempat tinggal meski ia enggan untuk menjadikan Bandung sebagai tempat berpulang. Tidak semua hal nyaman dijadikan tujuan pulang, 'kan?

        Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi. - Pidi Baiq.

        Bibirnya tersenyum getir.

         Lebih tepatnya, perasaan yang menghantui, batinnya.

         Sampai di Stasiun Bandung dan kereta api yang ditumpangi Ara mulai bergerak, ia masih tidak mendapatkan pesan balasan dari mamanya. Hanya tanda dua ceklis biru, tanpa jawaban sama sekali. []

***

Dan Bandung bagiku sebaik-baiknya tempat berpulang~~~~~~ heheheheeee

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang