[12] Kota Lama

1.5K 369 26
                                    

       Sejak kelas tadi pagi, Nina tidak berhenti dengan keterkejutannya saat melihat Ara dengan kondisi yang tampak sangat kacau. Perempuan itu jauh lebih diam dari biasanya. Benar-benar memaut hening tanpa berkenan berdialog dengan siapa pun di sekitarnya. Sibuk dengan pemikiran yang membawanya berkeliaran entah ke mana.

       "Lagi ada masalah, Ra?" Nina memberanikan diri bertanya setelah mata kuliah psikologi forensik selesai. Ada kelas ganti di hari Sabtu, kejadian yang cukup jarang karena fakultasnya cenderung melarang mengadakan kelas di hari libur.

       Begitu dosen keluar dari kelas, Ara langsung menidurkan kepalanya di meja. "Nggak ada. Harusnya," jawabnya malas.

       "Nggak sakit lagi, 'kan?" tanya Nina sembari mengulurkan tangannya ke kening Ara. Tidak panas. "Kamu nggak tidur tadi malam? Ada rapat? Atau lembur ngecek asistensi?"

       Kepala Ara berubah posisi mengarah ke Nina. "Kelihatan banget, ya?"

       "Apanya?"

       "Nggak tidur."

       "Iya. Kondisi kamu acak-acakan banget. Kantung mata kamu ...," Nina menggantungkan ucapannya lalu tersenyum, antara simpatik atau meringis. "Never mind. Ada apa?"

       "Nggak apa-apa."

       "Serius?"

       "Iya."

       "Tadi malam ke mana emang?"

       "Kerja kelompok klinis."
       
       "Pulang jam berapa?"

       "Sepuluh."

       "Nggak tidur?"

       "Tidur, tapi gitu, deh."

       "Apanya yang 'gitu deh'?" Nina gemas sendiri. Ia paham betul bahwa setiap manusia pada dasarnya memang unik dengan sifat dan kepribadian masing-masing. Namun terkadang kesabarannya diuji oleh sifat manusia yang tidak sama. Apa susahnya, sih, mengungkapkan langsung kalau lagi ada masalah?

       Bibir Ara bergumam kecil sembari menimbang-nimbang perlu menceritakan masalahnya atau tidak. "Aksa ...," katanya menggantung.

       "Aksa? Ketua senat? Kenapa dia?"

       Ara mengacak-acak kepalanya lalu menghela napas kasar. "Nggak apa-apa. Pulang aja, yuk!"

*

       Ini masih sore, tapi Ara berharap malam segera datang sehingga ia bisa cepat-cepat tidur. Itu pun kalau otaknya bisa diajak kerja sama.

       Perempuan itu menutup pintu kulkas di indekosnya setelah mengambil infused water yang dibuatnya sebelum pergi ke kampus tadi siang. Masuk ke kamar, ia meneguk minumannya dengan pikiran yang lagi-lagi mengajaknya berkelana.

       Percakapan dengan Aksa setelah kerja kelompok kemarin mampu membuatnya terjaga sepanjang malam karena dihadiahi mimpi buruk. Energinya habis meski tidak melakukan apapun. Pikirannya dipenuhi segala racauan yang selama ini selalu dihindarinya. Otaknya memang paling hebat menjadi jaksa untuk menuntut segala kesalahannya.

       Aksa sent you a message.

       Ara perlu mengerjapkan matanya berkali-kali saat melihat nama Aksa memenuhi tampilan layar ponselnya. Kenapa laki-laki itu mendadak menjelma menjadi nyata setelah Ara menyebut namanya dalam pikiran?

       Aksa Aji K.
       Ra, lagi di mana?

       Benak Ara dipenuhi ribuan pertanyaan. Kenapa Aksa tiba-tiba mengirimnya pesan? Selama enam semester kuliah, baru kali ini salah satu dari mereka mengirimkan pesan dan kenapa pesan pertama justru menanyakan keberadaannya sekarang? Apakah ada kesalahan yang dilakukannya sehingga Aksa perlu mengetahui di mana ia sekarang? Atauㅡ

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang