[11] Tentang Luka

1.7K 389 38
                                    

       Tiga cangkir kopi, satu teh hangat, dan setumpuk tugas kuliah.

       Ara memilih untuk memesan teh hangat alih-alih kopi untuk menemaninya mengerjakan tugas kelompok asesmen dan intervensi klinis malam ini. Minum terlalu banyak kopi saat pekan UTS kemarin ditambah tidur yang tak teratur memberi efek jera kepadanya karena tak ingin kembali berakhir di rumah sakit. Lebih baik menghindari kopi dulu. Seperti kata Faiz waktu itu, kalau bukan diri sendiri yang peduli, siapa lagi?

       "Transkrip dari wawancara udah aku bikin. File-nya aku share ke grup, ya," kata Aksa sembari mengambil ponselnya. Sedetik setelahnya, ia berkutat dengan benda di tangannya.

       Aksa.

       Ara mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu. Sudah lama tak bertemu dengan Aksa-meski ia juga tidak mengerti apakah bertemu dengan Aksa menjadi sebuah keharusan. Mungkin lebih dari dua minggu karena selama pekan UTS, mereka tidak pernah satu ruang ujian. Pertemuan terakhir mereka saat Ara mengembalikan jas almamater milik Aksa sebelum pekan UTS dimulai.

       "Serius, deh. Ngerjain tugas mata kuliah klinis itu berat banget," kata Dinda. "Kemarin pas kita wawancara ke klien, beberapa kali kita perlu ngarahin kalau kita lagi wawancara, bukan konseling. Kadang kita dituntut buat ngasih advice juga selama wawancara, mangkanya susah banget."

       "Tenang aja, Din. Kelompok kita kan ada Ara," jawab Galang sembari menaik turunkan alisnya. "Ada orang pintar di kelompok kita. Sans."

       Aksa menoleh ke perempuan di sampingnya untuk mengamati mimik muka Ara. Tidak ada yang berubah, ekspresinya tetap datar. Aksa sempat mengira Ara akan menunjukkan ekspresi tidak sukanya mengingat obrolan mereka di kafe sebulan yang lalu tentang beban mawapres yang dipikulnya.

       Mungkin perempuan itu biasa-biasa saja. Atau mencoba terlihat biasa-biasa saja.

       "Ini makalahnya tinggal tambahin teori dari DSM V buat panduan diagnosisnya," kata Ara sambil membuka PDF DSM V di ponselnya. "PPDGJ juga kalau mau. Aku kayaknya bawa, deh, bukunya."

       "Kliennya udah sesuai sama kriteria di DSM V, kan, Ra?"

       "Iya. Mungkin nanti tambahin rancangan asesmennya pakai tes grafis dan observasi."

       Mereka mulai kembali berkutat untuk menyelesaikan tugas kelompoknya, kecuali Galang. Laki-laki itu mengambil rokok dari saku celana, menyalakan api, dan menikmati merokok di kafe dengan suasana yang tenang. Mereka duduk di kafe lantai dua bagian luar sehingga pengunjung diperbolehkan merokok. Galang yang memilih untuk duduk di luar. Selain karena bisa menikmati pemandangan Semarang di malam hari, ia juga bisa merokok di sini.

       "Lang, kalau kamu datang cuma buat ngerokok, mending pulang aja," kata Dinda jengkel.

       "Serius?"

       "Ya."

       "Oke, aku pulang, ya."

       "Ya, paling nama kamu nggak ada di makalah."

       Bibir Aksa berkedut melihat Dinda yang benar-benar kesal dengan tingkah Galang. Selalu seperti ini saat tugas kelompok, akan ada orang yang bergabung hanya untuk 'nitip nama'. Biasanya, mahasiswa dengan tipe 'nitip nama' hanya akan mengajukan dirinya untuk print makalah dan mencet tombol next di laptop saat presentasi.

       "Si Dinda ngegas mulu," kata Galang sambil menghembuskan asap rokoknya.

       "Lang, aku nggak ngelarang kamu ngerokok, tapi asapnya simpan buat diri sendiri aja, dong! Ngapain bagi-bagi ke orang?!"

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang