[13] Semawis

1.5K 379 47
                                    

       Setelah menyusuri jalanan Kota Lama tanpa tujuan jelas, Aksa akhirnya memutuskan untuk membawa Ara ke Pasar Semawis. Pasar malam yang hanya buka setiap hari Jumat sampai Minggu itu berada tak jauh dari kawasan Kota Lama, karena itu Aksa memilih untuk mampir sejenak membeli makanan sebelum kembali mengantar perempuan itu pulang.

       Ara sedang membeli takoyaki saat Aksa tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Ia menoleh, mendapati laki-laki itu tengah menatap serius adonan takoyaki di atas kompor. Bibirnya sedikit tertarik ke atas-benar-benar samar, nyaris tidak terlihat. Aksa tampak lucu dengan wajah seriusnya.

       "Itu cumi-cumi beneran, Ra?" tanya Aksa setelah Ara menerima takoyaki pesanannya.

       "Iya."

       "Itu yang gerak-gerak kayak serutan kayu apa?"

       "Serutan kayu?" Ara menatap takoyakinya dengan pandangan heran. "Oh, ini katsuobushi. Kalau kena panas emang jadi gerak gitu. Kamu mau?"

       Pandangan Aksa menatap makanan berbentuk bundar itu lalu melipat bibirnya tak tertarik. "Nggak, makasih. Habis ini kan mau kumpul sama Faiz."

       "Terus kenapa?"

       "Nggak lucu kalau diskusi sambil garukin badan karena gatal."

       Ara menoleh dengan cepat ke arah Aksa. "Kamu alergi seafood?"

       "Iya. Eh, ayo, duduk!" Aksa menarik kursi kosong tak jauh dari stand takoyaki lalu menyingkirkan beberapa bungkus makanan di atas meja. "Heran, deh, sama manusia. Buang sampah ke tempatnya aja susah banget."

       Ara duduk di sampingnya. Ia membenarkan posisi duduknya sebelum menyantap takoyaki pesanannya. Perempuan itu kembali menikmati suasana hening yang melingkup meski mereka berada di tempat yang ramai dan berisik. Lalu-lalang orang, suara jualan, wangi berbagai makanan, dan hembusan angin-suasana di Semawis sedang memainkan segala alat indranya.

       "Enak?" Aksa bertanya setelah perempuan di depannya menghabiskan makanannya.

       Ara meneguk minumannya sembari mengangguk. "Sayang banget kamu nggak bisa makan."

       "Dulu adikku pernah bilang kalau dia itu orang paling sial sedunia," kata Aksa. "Tapi setelah tahu aku alergi seafood, dia akhirnya bilang kalau aku orang yang paling sial sedunia."

       Ara tertawa. "Kenapa?"

       "Katanya, seafood itu enak banget. Jadi, dia kasihan sama manusia yang nggak bisa makan seafood karena nggak bisa nikmatin salah satu kenikmatan duniawi."

       "Hahaha. She is so cute."

       "Adikku laki-laki."

       "Oke, he is," ralat Ara. "Kelas berapa?"

       "SMA kelas 12. Bentar lagi lulus. Kamu juga punya adik, ya?"

       Ara mengangguk.

       "Gimana kabarnya? Siapa, sih, namanya? Aku pernah lihat dia waktu pembagian rapot SMP."

       "Baik. Namanya Tisa."

       "She is beautiful."

       "Yes, she is." Ara tersenyum tipis. "Udah jam segini. Faiz nanti nungguin, Sa."

       Aksa melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Menyadari jam hampir menunjukkan pukul delapan malam, ia mengajak Ara untuk berdiri. Faiz pasti akan ceramah minimal setengah jam kalau ia datang terlambat. Temannya itu memang paling ketat perihal keterlambatan.

Magnet [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang