Prolog

59 5 5
                                    

Los Angeles, California, Amerika Serikat

Seorang gadis memasuki kawasan sekolah yang bertuliskan 'SMA ARDERZON'. Gadis berambut cokelat itu berhenti sejenak. Melihat handphonenya yang memperlihatkan sebuah chattingan yang baru terselesaikan dengan kontak bernama 'ayah'.

Ia melihat suasana sekolah ini. Terlalu megah jika menyebutnya sekolah. Mempunyai tempat parkir mobil, kolam renang, perpustakaan besar, lima lapangan, ruangan cheers, lapangan indoor, dan taman. Meski seperti itu, ia masih tak paham kenapa ayahnya membuatnya bersekolah disini daripada di sekolah SMA Negeri, sekolah lamanya.

Setelah menemui kepala sekolah untuk membahas beberapa kepentingan karena ia siswi baru, gadis itu memasuki lobby sekolah. Suasana yang damai, kini dipenuhi sorak-sorai ketika menginjakkan kaki di lobby sekolah.

Ohh... Shit! Apa-apaan ini!? Bullying!? Zaman gini masih ada bullying!? Mengecewakan, batinku.

Gadis itu melangkahkan kaki sedikit menjauh, tapi kakinya terhenti karena mendengar sesuatu yang familiar.

"Bukankah aku sudah memberi kesempatan untuk hidup? Lantas kenapa kamu masih disini!?" Teriak seorang anak laki-laki dengan suara keras. Seakan ia memang sedang membuat pertunjukan yang ditonton banyak murid.

"Lihatlah tampang ketakutan itu. Hahahaha, lucu sekali." Sudut mata gadis itu mendapati anak laki-laki tadi sedang mencekik leher siswa yang dibully. Tanpa sadar ia teringat sebuah janji lama.

"Av, kau baik. Bahkan terlalu baik. Terima kasih karena selama ini kamu disampingku. Karenamu aku jadi semakin kuat."

"Apaan sih, alay ahh."

"Oh ya? Tapi kamu memang pahlawanku, Av."

Wajahku berubah jadi merah padam. Aku tersipu. Sialan, kau yaa.

"Av, maukah kau berjanji padaku satu hal?"

"Apa?"

"Kalau kau melihat diriku pada orang lain, bantulah. Aku tau kamu baik, cuman terkadang sedikit cuek sihh. Ya, mau ya?" Tatapannya memohon pada saat itu.

Aku mengangguk, "Ya, demi kamu."

Avellino melotot. Ia tersadar dari lamunannya dan berteriak, " Hei hentikan, dia bisa mati!"

Dan kini, ia menjadi pusat perhatian semua orang. Banyak pasang mata yang diarahkan padaku. Nasi sudah menjadi bubur, mau dikata apapun takkan kembali. Baik, ini sudah terjadi.

Avellino berlari kepada seorang siswa yang masih mencekik leher siswa yang jadi bahan bullyan. Ia menepis tangan sang pembully agar cekalan pada leher itu lepas. Mata Avellino mendapati banyak yang melotot padanya.

Avellino melihat keadaan korban bullying. "Kau masih bisa bertahan?" Tanyaku khawatir. Dari raut wajahnya dia kelihatan sangat ketakutan. Avellino mengusap punggungnya dan memenangkannya.

"Hei, kau! Siapa kau!?" Seru anak laki-laki yang tadi mencekik. Avellino menatapnya tajam.

"Beraninya mengganggu kesenanganku!!" Anak laki-laki itu membentak Avellino. Ia terlihat seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Satu kesan untuk dirinya dia gila. Avellino benci orang sepertinya.

"Oh ya? Kesenangan? Percobaan pembunuhan kau bilang kesenangan?! Akalmu sudah hilang ya?" Avellino mencoba tak mengubah nada bicaranya. Ia tak boleh terpancing amarah.

"Ya, ini adalah kesenangan tersendiri buatku. Kau siapa!?" Seru anak laki-laki itu.

Dia terlihat berpikir sejenak, kemudian berkata, "berani menggangguku berarti adalah target bully selanjutnya. Rasanya aku tak pernah melihatmu di sekolah ini. Oh anak baru ya? Drama selanjutnya kita mempunyai 2 kelinci." Setelah mengatakan semua itu, siswa tadi pergi diikuti ketiga temannya. Semua penonton juga pergi. Mereka seperti semut yang kehilangan makanan manis.

"Anu... Terimakasih yaa. Aku mengira tadi adalah kematianku. Dia terlalu psikopat. Tapi, karenaku kau jadi kena masalah. Padahal kau anak baru disini." Avellino menatap siswa itu bingung, mengapa dia merasa bersalah.

"Hei.. Hei... Meskipun aku tak menghentikannnya, setelah kamu pasti ada korban selanjutnya. Aku benci orang itu. Dan masalahku jangan dipikirkan. Kau tak ingin mengucapkan selamat datang padaku?" Tanya Avellino dengan raut wajah sedih.

"Haha, aku melupakan itu. Selamat datang di sekolah swasta Arderzon," Katanya dengan raut bahagia.

"Yang seperti neraka," Lanjutnya yang sukses membuat Avellino tertawa. Ia bahkan tak paham SMA swasta terbaik di Los Angeles ternyata hanyalah sebuah sarang pembullyan.

"Baik, ayo masuk kelas terlebih dahulu." Ajak Avellino. Dia mengangguk dan menuntun seakan dia adalah guide.

••••

"Kau kira bisa lepas begitu mudah dariku. Tenanglah, untukmu aku akan menyiapkan rencana yang lebih menyenangkan. Khusus untukmu." Senyum tercetak diwajahku. Tidak, bukan senyum. Lebih tepatnya smirk.

MINE  [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang