- Part 19 -

7 2 0
                                    

Positif thinking yaaa ges di part ini awokawokawok.... Sans aja.

•••••

Tangan Andrew mengikatkan pita pada rambut pirang Vellan. Sebenarnya Andrew tidak ingin melakukan ini, tapi sejak tadi Vellan memaksanya untuk membuat ikatan pada rambutnya.

"Nah kan rapi! Aku tahu kamu sangat perfeksionis, Dre," Puji Vellan. Andrew hanya bersungut-sungut mendengar pujian itu. Ia menepuk bahu Vellan beberapa kali.

"Hei...," Panggil Vellan. Andrew mengangkat alis.

Vellan tersenyum sinis, "sepertinya aku akan benar-benar jadi orang ketiga."

Andrew melotot. Ia memutar tubuh Vellan ke hadapannya. Ia menggeleng kuat, "you can't do it."

"Kenapa?" Tanya Vellan.

"Bukankah mencintai seseorang adalah anugerah? Kau tidak bisa melarang orang, Dre!" Seru Vellan sembari menatap Andrew tajam.

"Lalu.... Tak pernahkah kau pikirkan mereka yang tersakiti oleh orang ketiga? Mereka sangat tersakiti, Vell." Tangan Andrew menyentuh pundak Vellan meyakinkan.

"Meski begitu apa aku tak berhak bahagia? Tak berhak mendapatkan dia yang kucintai?" Tanya Vellan melepas tangan Andrew di pundaknya.

"Mencintai memang anugerah, tapi hal itu jangan membuatmu menjadi orang ketiga. Berhentilah menyakiti mereka. Lepaskan lah dia dan biarkan ia merasakan bahagia dengan wanita yang ia pilih ," Sahut Andrew. Ia tahu persis rasa sakit itu. Tahu persis saat ia menjadi bodoh karena cinta dan harus dikhianati.

"Tapi... Tapi....," Vellan terbata-bata.

"Sudahlah....," Ucap Andrew. Kini Andrew kembali fokus pada layar proyektor dan tablet androidnya. Ia melirik Vellan yang memilih menumpu kepalanya di meja. Baru pertama kali ini Vellan tidak serius mengikuti kelas, terutama pelajaran matematika.

Ting.... Tong.... Ting.... Tong....

Andrew berdiri dan membawa tabletnya. Tangannya menggoyangkan tubuh Vellan.

"Hei, ayo ke kantin!" Ajak Andrew sembari menarik tangan Vellan.

"Ah, tapi sepertinya aku akan menjemput Avellino, Yuan, dan teman-teman kita dulu," Ucap Andrew.

"Kau duluan saja. Aku ingin berbaring sebentar disini." Vellan menarik dirinya kembali ke kursi.

Andrew menatap datar perempuan pirang itu. "Terserah," Gumam Andrew. Ia melangkah keluar kelas.

Namun beberapa detik, ia berlari ke arah Vellan, "tapi jangan lupa pergi ke kantin. Kau perlu makan." Vellan mengangguk. Meski tak tahu Vellan mendengarkan atau tidak, Andrew keluar kelas dan pergi ke gedung utara.

•••••

Vellan membuang gelas minuman ke tempat sampah. Langkahnya gontai, tangannya terulur ke bawah. Ia menatap beberapa siswa yang sedang menuju ke gedung utara tempat kantin berada.

"Ah, Andrew jahat. Harusnya dia menuntun sahabatnya, dan bukan meninggalkannya," Gumam Vellan. Mulutnya penuh oleh permen karet.

Kaki Vellan memasuki gedung utara. Ia menatap seorang anak laki-laki yang sedang menunggu sendirian di bangku kantin seperti biasanya. Rambut cokelat itu tampak berantakan karena angin. Mata Vellan berbinar menatap anak laki-laki itu. Ia tersenyum lebar. Gadis berambut pirang itu kini menghampiri anak laki-laki itu, dan menarik tangannya.

"Avellino, Yuan, dan yang lain sedang menunggu di ruang VVIP, Rean." Vellan terus menarik lengan Rean mmenuju ruangan VVIP. Rean terdiam dalam genggaman tangan Vellan.

MINE  [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang