- Part 11 -

11 3 0
                                    

Arderzon school, Los Angeles

Richard menepuk dahinya. Ia lelah berurusan dengan guru konseling yang mulutnya selalu terbuka. Andrew menatap Yuan dan Jeff yang menunggu mereka di depan ruang konseling dengan alis bertaut.

"Udah kan? Dre, kalau mau bully orang tuh di tempat sepi aja," Ungkit Aldric. Andrew menatap Aldric sengit.

"Betul, jangan sampai dia tahu permasalahan kita atau kejadian Aldric akan terulang lagi," Ucap Richard.

Jeff berdeham, "dia jatuh cinta pada uang. Tentu saja dia akan mencari berita panas dari anak-anak kaya seperti kita."

"Jeff, katakan padaku. Siapa yang mengajarimu mengatakan itu?" Tanya Aldric terkejut.

Jeff melotot, "tidak ada."

"Jangan anggap aku seperti anak kecil," Kesal Jeff kemudian berbalik menjauh. Aldric tertawa dan mengejar Jeff.

"Ric, ayo kembali ke kelas. Ini waktunya kelas matematika," Ucap Andrew sembari menarik Richard.

Langkah Andrew berhenti ketika merasakan sebuah tangan menyentuh baju Andrew.

"Minta maaf pada Av," Ucap Rean penuh penekanan.

Andrew menggeleng, "Tidak."

"Minta maaf!" Teriak Rean.

"Aku tidak peduli kepadanya!" Balas Andrew dengan teriakan yang lebih keras. Kemudian ia menghempaskan tangan Rean, dan pergi bersama Richard menuju kelas.

Rean menatap sosok punggung lebar dengan tatapan amarah. Ia mengepalkan tangan. Tapi detik selanjutnya, Avellino menyentuh kepalan tangan itu. Ia tahu bagaimana cara meredakan amarah Rean.

"Guys, we must back to our class right now! " Ingat Yuan. Avellino menatap Yuan malas.

"Aku lelah belajar," Ucap Avellino. Rean yang mendengar itu tertawa. Tangan Rean terulur mengacak rambut cokelat Avellino.

Tangan Yuan menggenggam erat, "God, give me a girlfriend too. it's unfair to see both of them."

Avellino dan Rean seketika tertawa keras melihat kesedihan Yuan. Mereka berdua merangkul Yuan dan menuntunnya berjalan.

"Terlalu dekat! Aku masih marah sama kalian," Seru Yuan mencoba menjauh. Tapi Rean malah mengeratkan rangkulannya pada Yuan. Avellino semakin tertawa melihat tingkah laku Yuan dan Rean.

••••••

Avellino mengganti seragam sekolah dengan baju santai. Ia menaruh seragamnya di mesin cuci dekat kamar mandi. Ia melihat banyak pembantunya yang sedang menyelesaikan banyak urusan.

"Nona muda, biarkan para pembantu yang menyelesaikannya." Avellino melihat Luccas berdiri di belakangnya.

"Ibu nona mencari nona di ruang keluarga," Ucap Luccas.

Avellino melotot, "ada apa? Tumben mami mencariku."

"Saya tidak tahu," Jawab Luccas. Avellino mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan cuciannya.

Luccas terdiam sebentar dan menggenggam pergelangan tangan Avellino. "Sebuah catatan, ada tuan disana."

Hanya lima kalimat. Lima kalimat yang dapat membuat jantung Avellino berdetak tak karuan. Ia melirik sinis Luccas.

Seolah mengerti bahasa isyarat Avellino, Luccas membela diri, "saya tidak mengatakan apa-apa."

"Oke," Ucap Avellino beranjak dari sana dan pergi ke ruang keluarga. Sampai disana, ia sudah melihat Ayah dan maminya duduk berdampingan dengan dua gelas cangkir di depan mereka.

"Ayah, mami. Ada apa?" Tanya Avellino sembari mendekat. Ia duduk di sofa kecil.

"Hmmmm.... Kamu tahu kan kalau Ayah sangat menyayangimu?" Tanya Axton, Ayah Avellino.

Avellino mengangguk. Ia melihat tangan Maminya menggenggam tangan Ayahnya. Ia pikir ini bukan masalah kecil.

"Lalu kenapa kau tidak menuruti ayah dan masih berhubungan dengan pemuda gila itu!?" Tanya Axton.

Avellino melotot. Ia berpikir keras bagaimana sang Ayah dapat mengetahui hal ini, sedangkan kata Luccas ia masih tutup mulut.

"Ayah... Itu tidak....," Ucap Avellino terbata.

"Tidak? Terjadi? Ayah melihatnya sendiri. Tidak seperti warga negara Amerika! Menaiki motor berdua. Dia gila dan tidak punya mobil!" Teriak Axton.

Tapi dibandingkan Axton yang melihat bahwa ia masih berpacaran dengan Rean, Avellino lebih fokus pada kata-kata gila yang disematkan dalam perkataan Axton.

"Sudah kubilang berapa kali! Dia tidak gila! Dia cuma punya masalah! Kumohon mengertilah tentang Rean sedikit saja, maka Ayah akan mengerti bagaimana baiknya dia," Bantah Avellino.

"Kau berani pada ayah! Karena dia kan!? Kau membentak Ayah hanya karena dia! Perlukah Ayah memindahkan sekolahmu lagi?" Ancam Axton.

"Waktu itu pindah hanya karena tempat tinggal, sekarang karena Rean!? Habiskan saja uang Ayah untuk membeli pulau dan kapal pesiar sekalian!" Teriak Avellino dan beranjak pergi.

Axton menyentuh batang hidungnya dengan jempol dan telunjuk. Ia lelah. Ia lelah terus berdebat dengan putrinya. Tapi Ia tak mau putrinya berhubungan dengan orang gila itu.

"Sayang, kan sudah kubilang. Sifat kalian tuh sama. Sebaiknya turunkan satu oktaf saat berbicara dengannya," Ucap Miracle, Mami Avellino.

Axton menutup mukanya lelah, "Hm."

Avellino berlari di tengah gelapnya malam. Ia ingin mencari udara segar dan melepas lelah.

Avellino merapatkan hoodie jaket warna pinknya. Ia berjalan di tengah gelapnya malam. Karena rumahnya adalah mansion, ia perlu berjalan jauh untuk menemukan jalan raya.

"Los Angeles nggak pernah sepi ya? Bahkan saat malam," Gumam Avellino. Ia melihat banyak mobil yang berlalu lalang. Lampu jalan dan lampu lalu lintas masih menyala terang. Seolah kehidupan di kota ini tidak pernah padam bahkan saat malam datang.

Ia melihat seorang laki-laki berkulit hitam memakai jaket hoodie dengan topi putih berjalan terhuyung. Avellino menatapnya lama, hingga laki-laki itu tersadar akan tatapan Avellino.

"What are you looking at?!" Tanya laki-laki itu. Avellino segera menggeleng dan berjalan menjauh.

Setelah posisi Avellino lumayan jauh dari laki-laki itu, ia membalikkan badan dan mengangkat jari tengahnya ke udara. Kemudian, ia berjalan-jalan menikmati udara malam.

Avellino berhenti di depan kursi pemberhentian bus. Ia memeluk tubuhnya sendiri dari hawa dingin yang menusuk. Avellino ingin berada disana lebih lama, setelah itu baru kembali ke mansion.

"Disini sepi sekali," gumam Avellino.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, jam tangannya sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia beranjak dari tempat pemberhentian bus, dan pulang ke rumah.

Langkah Avellino menatap ruang tamu yang sudah sepi. Ia yakin seisi rumah sudah berada di alam lain, jadi ia memutuskan segera pergi ke kamarnya.

Avellino menarik selimut dan menatap jendela, "selamat tidur bintang."

•••••

Halooo!! Akhirnya aku update juga hehe^^

Untuk update kayaknya nggak cuman sabtu aja dehh.. Entar aku ubah lagi setelah mempertimbangkannya. Okee, terimakasih telah menunggu dan selamat membaca!!!

19 Juni, 19:20

MINE  [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang