12. Bagas Rahadi

5.6K 528 39
                                    

Hiruk pikuk kota Jakarta memang selalu menjadi hal yang dia rindukan selama di Jerman. Kemacetan di sini memanglah sangat jauh berbeda dengan Negara yang dikenal dengan julukan Hitler itu. Meskipun tidak dipungkiri terkadang Jerman juga mengalami kemacetan, tetapi hanya sekali atau dua kali, berbeda dengan ibu kota Indonesia ini yang nampaknya tiada hari tanpa macet.

Mata hari lambat laun tenggelam menampilkan langit berwarna biru tua. Matahari berganti posisi dengan bulan yang terang benderang. Suara adzan dari masjid yang satu ke masjid yang lain bersahut-sahutan, suara klakson yang berbunyi seolah-olah berbisik bahwa "Cepatlah usai macet, keluargaku sudah menunggu."

Bagas, lelaki yang selalu menjadi pusat perhatian, selain sahabatnya Arsen tentunya. Tampan, cerdas, berkharisma, juga berasal dari kalangan atas. Menempuh dua tahun pendidikan Strata duanya di Jerman hingga akhirnya bekerja menjadi pengusaha yang cukup dikenal di Negara Hitler tersebut.

"Where are you Mas?" Tanya Arleta ketika lelaki yang dicintainya mengangkat telponnya pada deringan ketiga.

"Aku masih di jalan, macet banget dari Bandara tadi" ucapnya. Setelah menghadiri pertemuan pemegang saham yang tak terkecuali juga dihadiri oleh Arsen, dia memutuskan untuk langsung kembali ke Jakarta.

"Hmmm, ya udah, kamu ingat kan ada makan malam sama orang tuaku?"

"Iya Le, aku ingat kok" jawabnya

"Tesar mau ngomong katanya" anak kecil berpipi tembam itu langsung mengambil ponsel Arleta, membuat ibunya kaget dengan sikap sok dewasanya.

"Bawain aku mainan balu kan, Ayah?" Ucapnya

"Tentu dong, Pliko Mini Cooper Sport Pk 8100 sesuai permintaan anak ayah" jawab Bagas membuat anak kecil diseberang sana melompat bahagia.

"Ayah, tahu nggak aku punya teman baru loh"

"Oh ya? Siapa sayang?"

"Tante doktel, dia cantiiiik banget, abis itu dia beliin aku es klim dua"

"Tesal sukaa banget sama tante doktel" ucapnya menggebu-gebu.

"Wah mama cemburu nih" ucap Arleta membuat Tesar membelai pipi ibunya.

"Tapi Tesar lebih pilih mama kok" ucapnya dengan tampang cool, persis seperti Bagas. Membuat Bagas tertawa mendengar gaya bicara Tesar yang melebihi anak seusianya.

"Ayah mau nggak Tesal kenalin?" Tawar Tesar

"Boleh, kalau mama nggak marah?" Ucap Bagas diseberang sana.

"Mama malah nggak?" Tanya Tesar polos membuat Arleta gemas dan menggeleng lembut

"Mama nggak malah kok ayah"

"Oke kalau gitu, kapan-kapan kita ketemu ya sama tante dokter. Sayang, ayah tutup dulu ya telponnya. Ayah mau mampir sholat dulu."

"Siap ayah, Tesar sama mama juga mau sholat, assalamualaikum ayah" ucap Tesar.

"Wa'alaikumussalam jagoan ayah"

Bagas memarkirkan mobilnya dipekarangan Masjid dan menuju tempat wudhu khusus laki-laki. Begitu masuk ke dalam masjid, seorang lelaki menawarkannya untuk menjadi imam, awalnya dia ingin menolak tapi melihat lelaki yang seumuran dengan kakeknya memohon rasanya tidak beretika jika dia menolak, toh Alhamdulillah bacaannya sudah berkembang dan dia sudah lulus dari pelajaran tajwid.

Dia takbir kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah pendek. Sementara di shaf terdepan seorang perempuan menitihkan air matanya, selain suara imam itu merdu, suara tersebut mengingatkannya dengan lelaki yang membawa sepotong hatinya, Bagas.

DILEMA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang