31. Melihatmu dari Jauh

5.9K 473 15
                                    

Terkadang jika kita mencintai sesuatu, bisa jadi pilihan terbaik adalah menjauh darinya karena mendekat justru akan menghancurkannya. Layaknya matahari dan bumi, kalau-kalau matahari teramat dekat dengannya maka hancurlah bumi. Jadi biarlah matahari melihat bumi dari jauh, jika bumi baik-baik saja maka sinar matahari pun akan terus mengikuti kemana jejak bumi.

Begitupun Bagas, baginya cukup untuk melihat Yasmin dari jauh. Asal Yasmin bahagia, asal perempuan itu bernapas cukup baginya. Maka di sinilah dia, memandang perempuan dengan senyuman paling indah dari jauh sebelum keberangkatannya ke Jerman. Benar, dia memutuskan untuk kembali, memenuhi keinginan Arleta dan dia pikir itu adalah pilihan terbaik baginya dan juga bagi Yasmin, bagi para semua tokoh yang sedikit banyak mengalami kesedihan dalam cerita ini. Menutup buku yang usang dengan berjuta kenangan dan memulai buku baru, lembaran baru di mana tidak ada lagi kesakitan antara dirinya dan Yasmin.

Perempuan itu tak berubah sama sekali. Jika asik membaca maka dia akan lupa dengan sekitarnya. Jika dia tertawa matanya hanya tinggal segaris. Waktu berjalan begitu lambat, seolah memberi kesempatan Bagas menikmati pemandangan terindah dalam hidupnya. Sesekali jika perempuan itu tertawa, dia ikut mengangkat sudut bibirnya dan mengusap sudut jarinya yang berair. Barangkali ada yang lucu dari buku yang dibacanya. Namun, mengapa ketika perempuan itu tertawa, air mata Bagas pun tidak bisa dibendungnya, harusnya dia bahagia. Lemahkah dia karena menangis hanya karena wanita?

Air mata itu jatuh, tak lebih karena dia marah kepada dirinya sendiri, dia kecewa dengan kebodohannya. Dia merutuki dirinya sendiri karena kenyataan bahwa dia bukanlah seseorang yang bisa membuat perempuan itu tertawa karena bahagia. Mengapa dia tidak pernah bisa mengukir tawa seindah itu dibibir Yasmin. Bisanya hanya membawa kesakitan, menggoreskan luka dan penderitaan.

Lelaki itu berjalan lemah menuju parkiran namun tak sengaja mendengar percakapan Dokter yang menangani Yasmin. Perkataan yang didengarnya layaknya bom yang meluluhlantakannya saat itu.

"Dokter yakin akan mengambil operasi ini, presentase keselamatannya hanya lima puluh persen, tidak. Bahkan menyentuh angka lima puluh persen saya tidak yakin. Mengingat tidak hanya liver tapi jantung dan beberapa organnya pun lemah. Belum lagi, kita sama sekali belum mendapatkan donor yang cocok Dok."

"Kamu tahu kapan dokter tidak pantas disebut sebagai dokter?" Dokter yang lebih muda itu menggeleng karena mendapat pertanyaan tegas dari Dokter yang lebih tua.

"Ketika dia menyerah atas kehidupan pasiennya. Ketika dia tidak bisa mengambil tindakan dan tetap diam nelihat pasiennya sekarat. Saya telah lama mengenal Yasmin, dia perempuan ceria yang begitu semangat menjalani hidupnya. Saya bukannya tidak percaya akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tetapi jika saya tidak berani mengambil resiko ini maka jawaban satu-satunya adalah kegagalan. Namun jika saya mengambil resiko ini saya setidaknya bisa mendapatkan dua kemungkinan. Kemungkinan Operasi gagal dan kemungkinan Yasmin bisa kembali menjalani hidupnya." Dokter yang lebih muda diam, tak bisa berkata-kata.

Tak juga Bagas bisa berkata. Dia diam seribu bahasa. Melihat seseorang yang kau cintai dalam keadaan sekarat dan berjuang untuk hidup adalah mimpi buruk baginya. Dia meremas jari-jarinya, berlari menuju perempuan itu.

***

Arleta merentangkan tangannya lebar-lebar menyambut Tesar ke dalam pelukannya. Menggendong tubuh mungil itu serta mengecup kedua pipi gembulnya.

"Bagaimana sekolahnya sayang?" Pipi kemerah-merahan itu sumringah, tersenyum menampilkan sederet gigi putih bersihnya.

"Senang banget. Hali ini aku belajal menggambal, kata bu gulu gambalku bagus dapat selatus. Dikasih hadiah ini. Mau lihat gambalnya nggak mah?" Tesar menunjukan sebuah cokelat yang diberikan gurunya.

DILEMA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang