Chapter 12

246 33 0
                                    

“Minghao aku akan pergi, kau di mana.” Pangil anak kecil yang sedang duduk manis di bawah pohon rindang, sesekali dia menggerakkan kakinya karena bosan, sudah sangat lama anak kecil itu menunggu temannya sedangkan sebentar lagi dia akan pergi untuk pindah “Hao jangan main petak umpet aku sungguh-sungguh akan pergi.”
Mereka sering menghabiskan waktu bersama di tempat tersebut, jun selalu membawakan benda dari luar untuk minghao kemudian dia akan menceritakan banyak hal tentang apa saja yang dia lakukan di sekolah. Itu terjadi pertama kali saat jun berlari kehutan karena kesal tidak ada orang yang mau berteman dengannya di sekolah, akhirnya dia menangis di bawah pohon rindang tersebut. Sehari, dua hari, tiga hari minghao mengamati jun dari dahan pohon dan lama kelamaan jun makin sering datang ke tempatnya untuk menceritakan isi hatinya di tempatnya duduk itu.

Timbullah rasa iba dalam hati minghao saat mendengar berbagai beban hidup yang dimiliki anak kecil yang kini termangu di tempatnya ia tinggal. Di sapa lah jun yang sedang mengamati pemandangan hutan membuat anak kecil tadi terkejut setengah mati saat saling bertatap muka.
___

Jun mulai merasa bosan menunggu orang yang dipanggil tidak memperlihatkan keberadaannya sama sekali, apa minghao sudah lupa pada janjinya untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Jujur jun sedikit sedih saat mengetahui kalau paman dan bibinya harus pindah ke korea yang mau tak mau jun kecil harus ikut dengan mereka.

“Baiklah, kalau itu maumu.” Ucap jun kecil mulai meninggikan suaranya karena kesal menunggu “Kau sepertinya sama sekali tidak ingin bertemu dengan ku.”

Langkahnya berjalan menjauhi hutan namun dari balik dahan pohon rindang tersebut terlihat wajah sedih karena tidak memiliki cukup keberanian mengucapkan salam perpisahan, berakhirlah disana kisah terakhir mereka bersama. Dalam bisu yang menyimpan kesenyapan hati.

Hati mereka yang teruntai begitu dalam dan panjang, namun tak pernah tercapai rasa bila seandainya sang ideologi masih bertahta di sukma yang bernafas dengan penuh kesesakan akan rasa keingin tahuan dari pembawa hati. Inilah bentuk rasa tak pernah tersampaikan begitulah kata mereka dulu yang lebih tau, pertemuan sesaat yang bagai sebuah takdir.

Takdir bagi si kecil yang kesepian, bagi Wen Junhui yang sama sekali tak memiliki bentuk rasa yang utuh. Padanya melihat visualisasi dunia berputar mengikuti pemenang dan dia adalah penonton di opera malam suram dengan penyair membaca puisi layaknya diva padahal ia hanyalah burung dalam sangkar. Bodohnya ia yang berangan, untuk Wen dia diberi nafas adalah hal pertama ucapan terima kasihnya.

Dan nafas itulah membawanya tersadar akan kenyataan dirinya baru saja bermimpi, kesadarannya lambat kembali membuat manik itu ikut kesulitan dalam mengambil fokus. Kelasnya sepi, hanya ada dirinya seorang di sini. Dulu kala jika seperti ini, pasti kalimat teguran akan ia terima dari dua temannya. Kemudian bercengkrama tentang kebiasaannya yang suka tertidur di kelas diselingi canda tawa khas anak muda mau pubertas, memang banyak cerita masa lalunya dengan Wonwoo dan Soonyoung. Termasuk perpisahan mereka yang berakhir Jun menjadi pihak paling harus diam di antara semua kerugian terjadi.

Itu adalah kisah mereka, tiga anak muda dengan ribuan latar belakang tertutupi. Jun pada saat itu kesulitan menerima olokan murid memilih berlari, mencoba menahan amarahnya untuk tidak berakibat membunuh para murid di tempat itu. Kemampuannya yang diberikan berupa sihir kematian, berarti dapat membunuh semua makhluk hidup tanpa harus menyentuhnya. Akan berakibat fatal bila pengguna tidak bisa mengendalikannya dengan benar, daripada disebut sebuah kelebihan yang menguntungkan. Itu tak lebih dari sebuah kutukan.

Aku tak pernah lupa mengingatkan, terlepas dari apa yang ada tidak akan pernah mengubah fakta. Itu adalah bumerang tanpa mata, diriku hanya bisa berdoa.

Jun pun paham apa yang ada pada dirinya tak lebih dari gelap pekat samudra malam jadi dia akan menghindar agar semuanya tidak terluka oleh dirinya, hal itulah memberikan ketertarikan sendiri untuk Soonyoung. Pemilik tabiat dari sikap ingin tahu yang kebanyakan orang lebih suka tidak ingin terlibat kehidupan orang lain. Tapi tidak baginya, rasa ingin tahu harus dipenuhi dengan begitu kau bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Masa bodo kamu berpihak pada siapa, yang jelas kau tidak bodoh dengan ketidak tahuan.

Pada akhirnya beginilah akhirnya jun menerima amukan dari bosnya, tidak ada kalimat menyakiti hati. Bos tempat kerja part time jun begitu bijaksana karena itu selama dua tahun terakhir ini dia begitu menikmati pekerjaanya sebagai pelayan café, mungkin gaji yang diambilnya tidak seberapa tapi ayolah jika kau sudah terlanjur nyaman mau apalagi.

Jun hanya menggaruk lehernya yang tidak gatal sambil tertawa canggung, mau tidak mau bosnya hanya bisa memaklumi kesalahan anak buahnya tersebut. Wajarlah bagi seorang pelajar perantauan seperti jun yang tidak memiliki siapa2 lagi selain pamannya, bukankah tidak ada pilihan lain selain memberikan maaf. Toh, di juga masih pelajar.  

“Benar juga Jun, wanita yang kau ajak bicara kemarin apa dia pacarmu.” Ucap bosnya mengalihkan pembicaraan.

“Haha tidak hyung, pacaran hanya mempersulit hidupku. Apa lagi kalau kau cinta mati padanya.” Tawanya di sela membereskan meja yang baru saja digunakan pelanggan.

“Hah, sungguh kau hanya menyia-nyiakan wajah tampanmu Jun.” bosnya pun mengeluarkan nafas kekecewaan sambil mengidikan bahu.

“Kau berlebihan hyung.” Jun tidak ada pilihan hanya untuk kembali tertawa, tidak sekali dua kali orang membicarakan tampangnya. Padahal masih banyak temannya yang tampan di Institut seperti anak semester akhir yang suka sekali datang ke café ini hanya untuk bertemu Yoongi hyung “benar juga hyung, kakak tingkat yang—”

“Aku mengusirnya lima menit sebelum kau datang.” Terlihat wajah kesal dari ucapan bosnya yang membuat Jun tidak ingin membahas topik ini lagi.

Dasar orang yang di mabuk cinta, batin Jun tersenyum mengamati wajah kesal bosnya. Tidak sekali dua kali kakak kelasnya itu datang ke tempatnya dengan berbagai alasan dan menerima berbagai omelan dari bosnya, jun tentu saja hanya menjadi penikmat moment tersebut. Terkadang sekali-kali dia juga ingin merasakan hal yang dilakukan seniornya sampai senekat itu, sayang sekali sampai sekarang masih belum ada orang yang membuatnya merasa nyaman.

Terakhir kali dia merasa ingin menjadi tempat bersandar sudah lama sekali, itu juga semasa dia masih kanak-kanak yang tentunya hanya menjadi bualan tak terwujud untuk dirinya saat ini karena sudah memiliki sebuah tanggung jawab yang harus dipupuk dari sekarang. Berakhirlah seperti ini dirinya hanya bisa tersenyum melihat temannya yang penuh drama remaja sedangkan dirinya menertawakan hidup sendiri di gelapnya malam kota dengan segala kerlap-kerlip di dalamnya.

Di pelataran stasiun Jun menunggu kereta menuju arah tempatnya terlelap, di lihatnya kaca dari kereta yang melewati indranya dengan pikiran kembali ke kenangan masa kecil saat dia menjadi orang yang begitu spesial di dunia, hanya senyuman itu yang satu satunya ditunjukkan oleh jun. Ingin sekali dia egois untuk mengulang lagi masa itu, dengan canda tawa dan ribuan kebahagian di dalamnya kemudian ditambah kehadiranya.

SKY TOWER ||JeongcheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang