Chapter 17

172 27 6
                                    

Dulu Jeonghan membenci dunia, namun masa-masa sulit itu dapat dia lewati meski hatinya tetap terluka. Dirinya yang begitu sulit berdamai dan memaksa sampai kehilangan jati diri, sampai di satu titik ia memilih menyerah. Menyerah terhadap semua pertanyaan, menyerah terhadap rasa sesak akan ketidak tahuan, menyerah terhadap dunia yang selalu tidak pernah berpihak pada dirinya. Melepas semua kenangan yang pernah dia rajut baik seindah apapun itu hanya berakhir menjadi mimpi masa lalu yang menyakitkan dan tidak akan pernah kembali.

Perhatian kedua orang tuanya, kebahagiaan Jisoo akan sebuah keluarga sederhana. Masa kecilnya yang beberapa kepingnya mulai hilang, senyuman semua orang. Cukup sederhana, sebuah bentuk kebahagiaan yang ia yakini. Tak masalah baginya sang ayah membencinya selama dia mau memberikannya alasan, tak masalah dunia menolak dirinya selama ia diberitahu kesalahannya. Dengan begitu Jeonghan bisa memperbaikinya, setidaknya serpihan itu masih belum pergi darinya.

Tapi pada kenyataannya dirinya hanya tetap tidak tahu. Dan inilah jawabannya karena ia anak malanglah, dunia membencinya. Sejak kecil dirinya yang dijauhkan dari dunia luar oleh ibunya dengan berbagai alasan yang tidak diketahui, dan berakhir dengan sang ibu menangis di kamar mandi memeluk sebuah pigura. Tidak mungkin ia tidak tahu semua kisah malang itu.

Apakah takdir setiap anak istimewa harus membunuh orang yang mereka cinta seperti Jun yang membunuh kedua orang tuanya dan Jeonghan yang menebas adik kesayangannya, orang tua dulu sering berkata setiap keinginan pasti akan ada pengorbanan disana. Layaknya filsafat kalimat itu hanya akan meninggal kan kepelikan dengan penuh omong kosong yang melukai pihak tak berdaya.

Dan masih seperti ini Jeonghan sekarang, terdiam meratapi nasibnya dalam keheningan ruangan wakil rektor. Dalam kondisi atmosfer setiap orangnya tidak bisa dikatakan tenang, masing-masing dari mereka menunggu keputusan dari orang yang sekarang duduk dengan tatapan tajam yang tak seperti biasa senyuman selalu seperti padang bunga bermekaran. Keramahtamahannya selalu disanjung dan mendapat pujian tapi wajahnya kini nampak begitu lelah seperti ribuan buku resum menghantamnya dengan pekerjaan tiada henti.

"Rektor telah mengamanahkan padaku untuk menyampai kan maklumatnya pada kalian." ucapnya begitu bijak dengan tempo yang dipotong agar bisa di fahami "Kondisi Yoon Jeonghan tidak memungkinkan untuk di ikut sertakan dalam misi, saya harap pihak yang bersangkutan dapat memahaminya."

"Kedua, misi kali ini menjadikan nyawa sebagai taruhan dan pihak institut tak bertanggung jawab atas segala bentuk resiko yang ada." Minho, selaku wakil rektor mengakhiri kalimatnya.

"Kami paham dengan sangat jelas," Jimin pun tak kalah berhati-hati dalam mengeluarkan kalimatnya "Kami berterima kasih dengan sangat dalam institut memberikan kebijakannya pada kami." setelahnya mereka bertiga menunduk penuh hormat dan meninggalkan ruangan tersebut.

Ruangan dengan dua pintu dibuka dan kembali menutup perlahan dengan sendirinya layaknya memasuki rumah hantu yang suara khas saat bergerak, tubuh tadinya begitu tegap kini menjadi lemas saat tamu pergi. Kepalanya dipijat penuh tekanan karena begitu ngilu, rasanya dia seperti akan menua dengan cepat mengalahkan seniornya yang kini membimbing anak sihir. Sejak awal menjadi wakil rektor dan tangan kanan keluarga rektor adalah sebuah kehormatan yang tak lain cobaan tiada henti, kalau bisa dia ingin cepat pensiun dan menikmati masa muda "Kolagemu mengerikan Kwon Soonyoung."

Jeonghan orang terakhir yang keluar dari ruangan itu wajahnya sudah terlihat sangat jelas bahwa ia kelelahan, sekilas dapat ia lihat tatapan sengit dari Jungkook yang pergi dengan Jimin menambah beban pikirnya yang sudah sangat rumit. Jisoo berjalan mendekat ke arahnya dengan Seungcheol yang tadi menunggunya "Kau baik-baik saja Jeonghan." yang ditanya mengangguk menginterupsi sebelum mengeluarkan perkataan.

"Em, tadi aku hanya terbawa suasana." kalimatnya terjeda saat teringat kejadian tadi akan sikapnya yang sangat tidak profesional di tempat umum "Maaf, aku melemparkan amarahku padamu."

SKY TOWER ||JeongcheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang