Langkah Seungcheol bergerak gontai, hatinya tidak bisa tenang sedari tadi. Ketenangan malam ini membuatnya begitu curiga, benaknya tidak bisa berpikir logis lagi. Perasaan begitu khawatir sejak suara dentuman dalam hatinya berbunyi, nadinya mengalir tak menentu. Dirinya begitu khawatir pada Jeonghan, seharusnya dia tidak mengiyakan permintaan bodoh orang itu sejak mereka berpisah. Suara gagak yang menginterupsi bagai pembawa pesan maut, membuat dirinya yang mendengar suara itu ingin mengumpat dalam berbagai bentuk.
Suasa ini begitu familiar baginya, dia pernah melihatnya sekali. Malam rembulan, udara yang menghantui jiwa, deretan pohon mati, dan terakhir ketakutan akan kehidupan abadi. Akankah itu pencuri jiwa, benaknya dengan cepat tersadar dengan situasi yang ada. Kali ini gerakannya bergerak dengan cepat membuat pakaiannya ikut terombang ambing oleh hembusan angin yang menerpa. Sebentar lagi dirinya sampai di tempat itu dan memastikan jika semuanya baik-baik saja.
Jika saja kalau ribuan sula itu tidak menjadi objek pertama yang tertangkap oleh penglihatan, pemandangan bagai hari dimana kaum manusia diadili membuat semua orang di tempat itu tercengang tak lebih lagi dirinya. Itu seperti neraka, benda tajam bagai duri menusuk puluhan tubuh berdaging tanpa memandang bulu. Darah menetes tiada henti menyatu dengan dingin tanah malam. Mata bagai ikan terdampar itu semakin membuat orang mual melihatnya di tambah dengan beberapa organ tubuh yang keluar dari inangnya akan membuatmu enggan untuk makan meski itu sesuap.
"Apa-apaan ini." Jujur saja Seungcheol masih tercengang melihat apa yang ada di depannya.
"Seungcheol." Suara lemah dengan rasa ketakutan itu menatapnya, manik yang baru saja menyaksikan maut tepat di depan matanya memohon pertolongan atas ketidakberdayaanya.
"Ini semua kesalahanku." tubuh ramping yang kini berdiri, berjalan pelan dengan kerlipan cahaya kemuliaan. Membuat semua yang telah pergi kembali lagi, tempat yang tadinya gersang bagai kota mati kini kembali rimbun dengan dedaunan menghijau. Tempat itu kembali mendapatkan kehidupannya, kesuburan yang tadi telah dicuri kini mendapatkan kebebasannya kembali.
Kini dia berdiri diatas sana, di depan tubuh yang terus bergetar dengan gumaman seperti makhluk kesurupan. Jiwanya yang terlampau terluka daripada segala penyiksaan dunia yang memborgol, memohon agar tidak terjerumus dalam kegelapan yang kekal. Ketidakmampuannya dari rasa kesepian yang memeluknya bagai bentangan langit malam. "Maafkan aku." kalimat itu terucap tiada henti dari mulutnya, bergetar dan menyiksa. membuat semua orang yang melihatnya tidak mampu menahan luka.
"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku." Minghao menatap dengan menggigit bibir saat deretan kata itu masuk kelubang pendengarannya.
"Appa maafkan aku, Jun minta maaf. Tolong jangan tinggalkan Jun." entah apa yang ada di dalam benaknya tapi dapat dilihat dengan jelas ada luka disana. Sebuah trauma masa lalu yang terus menghantui ruhnya sampai ke bagian hati terdalam membuat tubuhnya bergetar tiada henti disertai dengan jemari yang meremasi rambutnya kuat-kuat.
Kaki Minghao melemas tepat di sana, suara jatuhannya yang bergesekan dengan bebatuan. Memeluk lembut tubuh yang ringkih itu sembari membisik kalimat penenang "Tak apa, aku disini menemanimu. Wahai malamku." membuat tubuh yang bergetar itu kini meringsut tenang di buiannya, terpejam lelap dalam pelukannya. Mengurai habis semua lukanya "Andai rembulan dapat mendengar suara kita." Ujarnya memelas menatap ke atas.
Seungcheol masih termenung di tempatnya, dia masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa seorang manusia seperti Jun bisa mengeluarkan sihir dengan skala sebesar ini, jika ada yang tau ini bisa menimbulkan peperangan antar benua. Jujur saja, sekarang dia merasa sedikit sombong untuk bersikap tidak peduli. Bukan kurang ajar anak jaman sekarang, apa yang dilakukan asosiasi sebenarnya selama ini. Bukankah ini tidak baik-baik saja.
"Minghao, apa yang kau sembunyikan selama ini." Tatap Seungcheol nanar ke arah orang yang ada di bawah.
Sedangkan yang diajak bicara hanya membisu, mencoba tetap setia pada pimpinannya. Dia tidak bisa banyak bicara, semua pihak diminta tutup mulut tentang apa yang terjadi sebenarnya "Minghao, sejak kapan dirimu menjadi anak anjing penurut." Seungcheol masih belum mengubah air mukanya, masih terlihat otoritas dibalik setiap kata yang dia lontarkan.
Minghao mengalihkan pandangan, ia cukup tau diri untuk tidak menatap wajah itu "aku tidak bisa mengatakannya, terutama pada orang yang baru kembali sepertimu." berujar dengan wajah kecut.
Kali ini giliran Seungcheol yang tertohok oleh kalimat penuh penekanan itu, baiklah dia akui dirinya ini adalah pecundang yang suka ikut campur urusan orang lain. Tapi apa harus sampai seperti ini, jikalau tirani seperti ini diteruskan bisa jadi kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama seperti dulu. Dan bencana tidak mungkin bisa ditolak lagi. "Baiklah jika itu maumu." Seungcheol menjauh dari tempat itu, berjalan ke arah Jeonghan yang sudah tidak sadarkan diri dan menggendongnya ala bridal style "Aku sudah memperingatkan."
Inilah salah satu malam dimana Seungcheol kembali terdiam termangu, pemandangan malam yang sunyi adalah satu-satunya bahan pandangnya yang sibuk memikirkan hidupnya tanpa arah tujuan ini. Selama dirinya menjalani berbagai kejadian membentang di hidupnya tak pernah sekali ada rasa kepuasan di dalam sana melainkan hanya kesalahan yang penuh dengan sebuah sifat cela. Kehilangan, kesepian dan kesakitan. Watak makhluk fana yang seharusnya tidak pernah ada pada dirinya.
Terlalu lucu untuk dirinya bersikap manusiawi, karena itulah dirinya dibuang. Keraguan inilah alasannya sosoknya tak lagi diterima, si pecundang "Seungcheol." Suara lembut khas orang bangun tidur itu menyadarkannya, dirinya yang sedari tadi duduk di sisi ranjang memandangi luar melalui jendela melihat ke arah suara itu. Tatapan matanya yang terlihat lembut namun menyimpan rasa sendu itu mengelus surai Jeonghan, ada perasaan penuh harap di sana "Apa terjadi sesuatu." tanyanya melihat wajah yang tertutupi redupnya cahaya malam.
"Jeonghan, apa kau mendengar kisahku sebentar." lawan bicaranya terdiam mengikuti alur pembicaraan namun kali ini terlihat antusias tak seperti biasanya "Kau ingin tau tentang peperangan yang terjadi 10 abad lalu bukan." Jeonghan pun duduk dari tidurnya karena dirinya tau pembicaraan ini akan memakan waktu cukup lama, seandainya saja jika dirinya tidak habis pingsan ia ingin mengajak lawan bicaranya ini duduk sambil ngopi dulu siapa tau orang itu haus dan menginginkan secangkir americano hangat dengan dicampur susu dan jadilah latte, bukankah itu nikmat diminum pagi saat dirimu ingin mengawali hari dengan penuh semangat. Sungguh sangat enak dan menggugah selera sampai-sampai itu terlihat mustahil karena dia tidak tau orang di depannya ini suka apa "Tunggu, antara americano dan latte kau pilih mana." Jeonghan menyela saat Seungcheol mencoba bicara dengan serius.
"Aku pecinta teh."
"Baiklah kita bukan jodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
SKY TOWER ||Jeongcheol
FanfictionJeonghan yang tersesat di sebuah kuil tanpa ia sadari telah mencuri benda yang menguak semua rahasia di balik kematian kedua orang tuanya. Sampai rahasia terbentuknya SKY TOWER.