"Stefaann..." panggil Randai pelan pada Stefan yang terduduk di sofa villa. Stefan sama sekali tidak bergerak semenjak pagi tadi. Semenjak Devon pergi meninggalkannya. Stefan tidak makan. Tidak juga minum. Dia hanya diam di sofa itu.
Randai berkali-kali mencoba menghubungi Devon, namun Devon tidak menjawab telpon darinya. Ataupun membalas whatsapp-nya.
Air mata Stefan sudah mengering. Sela matanya pun melembab. Dia sama sekali tidak peduli dengan apapun. Ini terjadi lagi. Kesakitan ini. Luka batin ini. Serta gejolak asmaranya yang selalu tak menentu, ingin berpatut pada siapa. Devon. Randai. Bimbang.
"Fan... kamu maunya gimana sekarang? Kak Randai jadi ngerasa bersalah ke kamu, terutama Om Devon!" ujar Randai.
"Ini bukan salah kak Randai!" cetus Stefan dengan tatapan kosong lurus ke depan, "Ngapain harus ngerasa bersalah? Om Devonnya aja gak mau dengerin penjelasan aku dulu!"
"Kalau kamu mau jelasin, kamu mau jelasin apa ke Om kamu, Faaannn???" tanya Randai, sedikit ngotot.
Sejurus Stefan langsung menatap wajah Randai baik-baik. Lalu dia berdiri. "Disini... tepat di dada ini!!! Ada hatinya Bara!!! Kak Randai tau gak, kalau Bara itu suka sama kak Randai??? Sekarang aku jadi ngerasin segala hal yang aneh tiap kali aku liat mata kak Randai, terus aku mau nyalahin siapa??? Nyalahin Bara??? Nyalahin kak Randai??? Marah sama Om Devon??? Enggak, kan?" tegas Stefan. Nafasnya tak beraturan. Dia memegangi kepalanya dengan keras.
Randai yang masih duduk itu, memegang tangan kiri Stefan. "Kamu tenang dong, Faaan! Kontrol emosi kamu"
Stefan berusaha mengatur napasnya. "Ini terlalu rumit buat aku, kak Randai" Stefan terduduk lagi di sofanya.
"Sah-sah aja kalau kita marah atas sesuatu yang gak kita inginin, Faaann... Tapi kamu juga harus bisa menghadapinya dengan sabar. Belajar untuk menerima semuanya. Menjalani semuanya dengan tegar" ujar Randai.
Stefan menitihkan air matanya dengan gamang. Seketika dia berusaha menenangkan dirinya. Stefan membenarkan ucapan Randai barusan. Dia tidak boleh gegabah. Dia harus menyelesaikan ini semua dengan tenang.
"Sekarang mau kamu gimana, Sapi?" tanya Randai. "Apa kamu mau pulang?"
"Gak! Aku masih mau disini!" ujar Randai.
"Hah?" Randai menatap Stefan dengan heran. "Loh, kamu gak mau nyusul Om Devon?"
"Aku mau tidur sama kak Randai malam ini!" ujar Stefan tiba-tiba.
DUG. Jantung Randai seakan berhenti mendengar kalimat itu dari mulut Stefan. "Epan... kamu..."
"Kak Randai sayang kan sama aku?"
"Tapi..."
"Kak Randai cinta kan sama aku?"
"Iya, tapi gak disaat sedang begini, Fan! Keadaannya lagi gak baik!"
Stefan seketika melompat dan duduk di atas paha Randai. Stefan memegang kedua pipi Randai. Seketika Stefan menjurus ke mulut Randai. Dia melumati bibir Randai yang tipis dan merah. Beberapa kali Stefan pun memasukan lidahnya ke dalam mulut Randai. Namun demikian, Randai menghentikan aksi Stefan yang menurutnya salah. "No, Stefan! Please..."
"Kenapa, kak?" tanya Stefan. "Kak Randai gak mau sama aku?"
Randai menelan ludahnya. Dia menatap Stefan lagi. Jaraknya dengan wajah Stefan begitu dekat. Bahkan hidung mereka saling menempel.
"Kak Randai gak sayang sama aku?"
"Kak Randai sayang sama kamu, Stefan! Kak Randai cinta sama kamu! Tapi saya mau kamu. Bukan Bara!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES SEASON 2 (END 21+)
Teen FictionCerita ini mengandung unsur LGBT. Homphobic, please start to out, thanks. Stefan atau memiliki panggilan sayangnya, Epan, lelaki berusia 18 tahun itu kini tengah mencoba menata kehidupannya dengan baik, berdua bersama Devon, atau panggilan sayangnya...