Stefan sibuk dengan laptopnya. Matanya fokus dan tertuju pada layar. Melihat dan membaca sebuah informasi yang dicarinya di internet tentang operasi bedah maupun transplantasi wajah.
Stefan sangat peduli dengan Randai yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Dia tidak mau terlalu lama tersiksa dalam kesalahan besarnya pada Randai, dan juga Bara.
Seketika Devon masuk ke kamar tersebut dan menghampiri keponakan tersayangnya itu.
"Loh, kok belum tidur?" tanya Devon sambil menghampiri keponakannya tersebut lalu memeluknya dari belakang.
Stefan hanya tersenyum sambil mengelus-elus tangan Devon yang mengikat lembut di dadanya.
Sejurus mata Devon menjurus ke arah laptop Stefan. Dia mengernyitkan keningnya. "Kamu kok searching beginian, sayang?"
Stefan menoleh sebentar pada Devon, lalu dia tersenyum. "Epan kepikiran terus sama kak Randai, Om! Aku terlalu jahat sama dia!"
"Ssshhh... jangan ngomong begitu! Epan itu gak jahat sama dia! Semua orang yang di kasih amanat seperti itu juga pasti akan bingung, bahkan mungkin mengabaikan" ujar Devon.
"Tapi masalahnya korbannya itu adalah kak Randai, Om! Epan gak tega sama kak Randai. Dia begitu baik. Dia selalu ada untuk Epan. Dia selalu berhasil selesaiin masalah yang berkaitan dengan Epan. Bahkan sekarang... wajahnya rusak begitu tuh karena..." Stefan melinangkan air matanya, kemudian dia menyandarkan dirinya pada dada Devon seketika.
"Oooohh... please, dont cry, Epan. Jangan terlalu di pikirkan. Semuanya akan baik-baik aja, ya!" tutur Devon menenangkan.
Stefan terbangun lagi, "Om... kita harus bantu Kak Randai... kita harus bantu dia untuk operasi wajahnya, Om!"
Devon terdiam sejenak, "I hope is so, Fan..."
Stefan menekuk alisnya, "Maksud Om Epon?"
Devon menghembuskan napasnya seketika. "Dia gak mau wajahnya di operasi, Fan!"
"Hah? Kenapa begitu, Om?"
"Kalau menurut Om Devon... semenjak dia kehilangan kamu, dia juga kehilangan harapan hidupnya, Fan"
Stefan terdiam, bergeming seketika. Wajahnya terlihat sendu. Dia bagai orang yang begitu penuh dengan penyesalan. "Kak Randai..." lirihnya.
"Sudah, Epan... lebih baik sekarang kamu tidur. Besok pulang sekolah datang ke rumah sakit ya. Kita jenguk kak Randai"
Stefan mengangguk seketika.
~
"Sadha..." sapa Rafli pada Sadha yang duduk di lapangan tennis tersebut.
"Eh, kak Rafli... sini kak! Duduk!" ajak Sadha.
Rafli pun duduk di dekat Sadha. Kemudian dia membuka topik percakapan, "Gimana keadaan kak Randai, Dha?"
Sadha menyendu, "Kalau kondisinya sih baik, kak. Tapi Dokter belum nyaranin dia pulang ke rumah dulu, karena masih ada beberapa perawatan ringan yang harus di lalui, kak!"
Rafli manggut-manggut. "Kalau kondisi hati lu apa kabar?"
"Hah? Mmm..." Sadha gelagapan dia diam kebingungan.
"Kita jadian aja yuk..." ajak Rafli seketika.
Mata Sadha terbelalak seketika. Jantungnya serasa berhenti. Nafasnya begitu sesak. Wajahnya merah bak kepiting rebus. "J-jadian, kak?"
"Iya"
"K-kita... pacaran?"
"Iya. Lu mau gak jadi pacar gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES SEASON 2 (END 21+)
Teen FictionCerita ini mengandung unsur LGBT. Homphobic, please start to out, thanks. Stefan atau memiliki panggilan sayangnya, Epan, lelaki berusia 18 tahun itu kini tengah mencoba menata kehidupannya dengan baik, berdua bersama Devon, atau panggilan sayangnya...