Stefan terbangun dan terkejut melihat Devon yang berdiri menganga di depan pintu kamarnya. "Om Devon..."
Randai pun turut memicingkan mata dan terkejut bukan main.
Devon diam sebentar. Kemudian dia tersenyum, "Jangan khawatir. Saya bukan mau ganggu kok! Saya cuma mau ambil sebagian baju-baju saya" cetus Devon. Lalu Devon berjalan menuju lemarinya, mengambil beberapa lipatan baju-bajunya dan... menangis.
Sementara Stefan dan Randai buru-buru mengenakan pakaian mereka masing-masing.
Sementara Devon yang masih menitihkan air mata tanpa suara, berusaha menegarkan hatinya. Ini bukan salah Stefan. Ini salahnya sendiri, yang terlalu egois dengan perasaannya. Oleh karena itu, sekarang, ia memilih untuk benar-benar membiarkan Stefan dengan kebahagiaannya.
"Om Devon... Maafin Epan, Om!" ujar Stefan pelan sekali.
Devon pun menutup pintu lemarinya, dengan beberapa pakaiannya di genggamannya. "Jangan meminta maaf, Stefan. Ini salah saya. Bukan salah kamu. Seharusnya saya membiarkan kamu bahagia. Bukan mengekangmu atas dasar kecemburuan. Saya gak pantas untuk cemburu!" ujar Devon, lalu dia pergi. "Permisi"
Baik Stefan dan Randai hanya saling diam. Stefan tidak bisa lagi menangis. Air matanya sudah habis. Randai sudah kehabisan kata-kata untuk menenangkan Stefan. Dia juga merasa bersalah.
"Epan..."
Stefan tak menggubris. Dia hanya berusaha tegar di hadapan Randai. "Udah gapapa, kak. Sekarang aku siap-siap dulu ya. Mau sekolah"
Randai mengangguk.
~
Di sekolah, pikiran Stefan begitu kacau. Tak jelas. Kepalanya pusing. Telinganya seperti mendengar suara Devon, dan juga Randai. Mereka bersahut-sahutan. Terdengar berebut, siapa yang paling keras. Dia yang akan menang. Nyatanya, itu malah membuat Stefan semakin sakit kepala.
"Selamat pagi, Milea..." sapa Kyle yang baru datang dan langsung duduk di samping Stefan.
Sekolah itu masih terlalu pagi. Masih pukul enam, dan yang sudah datang ke sekolah pun belum terlalu banyak. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengerjakan tugas kebersihan kelas.
"Kyle, please... gue lagi gak mau di ganggu dong. Bisa kan?" tanya Stefan sambil memegang kepalanya.
"Oke. Gue gak akan ganggu lo. Asal lo ikut gue sarapan di kantin!" jelas Kyle, "Gue laper banget nih, mana belum sarapan pula! Minum energen gak mempan slurr!"
"Apaan sih Kyle, ah! Sana pergi sendiri aja!" cetus Stefan.
Kyle menaruh tasnya dan duduk di dekat Stefan. "Yaudah kalau lu gak mau!" CUP!!! Tiba-tiba Kyle mencium pipi kanan Stefan.
Stefan terkejut dan melotot ketika di perlakukan seperti itu oleh Kyle. Dia memegang pipinya. "Kyle lu apa-apaan sih?"
Kyle hanya memberikan senyuman manis sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya. "Kantin gak nih?"
"Lu tuh gak ngerti-ngerti juga? Kan udah gue bilang, gue gak mau!" tegas Stefan.
Lagi. CUP. Kyle mencium dahi Stefan yang keras seperti isi kepalanya.
"KYLE!!!" Stefan berteriak kesal.
"Semakin lu nolak, semakin kemana-mana nih bibir gue! Mau?"
Stefan mendelik pada orang gila ini. "Lo..."
Sejurus Kyle langsung menyosor ke arah bibir Stefan, namun Stefan langsung menangkap mulut Kyle dan mendorongnya ke belakang. "Iiiiihhhh!!!! Oke oke! FINE!!! Gue mau ikut lu ke kantin!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES SEASON 2 (END 21+)
أدب المراهقينCerita ini mengandung unsur LGBT. Homphobic, please start to out, thanks. Stefan atau memiliki panggilan sayangnya, Epan, lelaki berusia 18 tahun itu kini tengah mencoba menata kehidupannya dengan baik, berdua bersama Devon, atau panggilan sayangnya...