Di sekolah, Stefan terlihat begitu gamang dan bingung kala ia terus kepikiran akan Randai yang kini kecewa padanya. Stefan bisa mengerti Randai yang begitu sakit hati dengan perlakuannya. Inilah yang selama ini sangat Stefan takutkan. Randai tahu semuanya, terlebih pada keadaannya yang sekarang ini. Stefan sangat merasa bersalah.
"Stefan..." panggil Rahayu seketika.
Stefan menoleh, lalu tersenyum. "Eh, Rahayu. Ada apa?" tanya Stefan di bangku taman sekolah tersebut.
"Saya yang seharusnya tanya sama kamu. Kamu teh sedang apa disini sendirian?"
Stefan terdiam, sambil menggeleng. "Gapapa"
"Gimana dengan keadaan Kak Randai?" tanya Rahayu.
"Dia udah baikan kok" jawab Stefan.
Rahayu memegang tangannya sendiri dengan gemas, seiring dia menggigit bibirnya karena sesuatu mencoba keluar dari mulutnya namun tertahan oleh hatinya.
Stefan masih diam melamun, menatap kosong ke arah lapangan.
Rahayu menghela napas lalu memberanikan diri untuk berujar, "Fan..."
"Hmm???"
"Saya teh... mau bilang sesuatu sama kamu!" ujar Rahayu gugup
"Bilang apa, Yu?" tanya Stefan.
"Saya teh suka sama kamu, Fan! Sudah sejak lama. Sejak kamu pindah ke sekolah ini. Saya suka dengan kepribadian kamu. Cueknya kamu. Saya cinta sama kamu, Fan. Mungkin ini teh kedengarannya berlebihan, tapi saya harus jujur sama kamu, Fan! Saya tidak bisa menahan perasaan saya lagi ke kamu. Saya sangat sayang sama kamu, Fan!" ungkap Rahayu seketika.
Mata Stefan terbelalak kala mendengar ungkapan Rahayu barusan. Dia tak habis pikir dan mengira bahwa Rahayu ternyata menyukainya selama ini. Dia bahkan sama sekali merasa bahwa Rahayu mencintainya selama ini. "Ini seriusan, Yu?"
Rahayu mengangguk seketika. "Sebentar lagi kelulusan. Saya teh tidak mau saya menyesal hanya karena saya tidak pernah melakukan sesuatu, yaitu mengungkapkan perasaan saya sama kamu!"
Stefan terbata, dia tidak mengerti lagi apa yang harus dia lakukan.
"Kamu mau jadi pacar saya, Stefan?" tanya Rahayu.
Stefan tertegun menelan ludahnya. Pikirannya begitu kacau. Ada beberapa hal yang membelenggu di hatinya. Menjaga hati Devon, kekecewaan Randai, mencari tahu keberadaan Kyle, sekarang Rahayu dan pernyataan cintanya. Sungguh membuat Stefan kebingungan.
"Gimana, Stefan?" tanya Rahayu sekali lagi.
Seiring Stefan pun menghembuskan nafasnya dan mengambil keputusan. Lalu dia memegang kedua tangan Rahayu, "Yu... makasih udah sayang sama gue. Jujur gue ngerasa tersanjung dan gue hargai perasaan lo itu. Tapi... gue gak bisa, Yu! Gue gak bisa jadi pacar lu. Gue cuma bisa nganggep lu sahabat, bahkan kakak buat gue karena sikap kedewasaan lu selama ini. Jadi please, maafin gue ya. Kita temenan aja. Bisa kan?"
Rahayu terdiam pilu mendengar ucapan Stefan barusan. Kemudian dia menunduk layu dan tak berujar apa-apa lagi.
"Yu... please..."
"Apa alasannya, Stefan? Apa saya bukan tipe perempuan idaman kamu?" tanya Rahayu.
"Enggak... bukan itu. Ada satu hal yang lo gak bisa ngerti, Yu! Jadi gue mohon, maafin gue ya, gue gak bisa nerima lu jadi pacar gue!"
Rahayu masih diam dan kembali menunduk. Entah menangis atau diam saja, Stefan tidak tahu. Yang dia tahu adalah keputusannya kali ini adalah keputusan yang tertepat. Dia tidak bisa mencintai Rahayu. Kalaupun bisa di paksakan, Stefan tidak mau lagi menyakiti hati siapapun, termasuk Rahayu.
"Maaf ya, Yu. Gue gak bisa" ujar Stefan, kemudian pergi meninggalkan bangku taman tersebut. Meninggalkan Rahayu sendirian dan diam di tempatnya.
~
"Hai Randai... gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Devon sepulang kerja berniat menemani Randai di rumah sakit. Dia membawakan Randai puding mangga. Dikamarnya sudah ada Sadha dan juga Rafli yang menemani Randai lebih dulu.
"Alhamdulillah, makin membaik kok kak!" ujar Randai.
Devon lalu berujar pada Sadha dan Rafli. "Kalian pulang saja. Biar Om Devon yang jagain kak Randai ya"
"Siap, Om! Pamit dulu ya Om!" ujar Sadha dan juga Rafli.
"Iya, hati-hati!" jawab Devon.
Seketika Devon mengambil sendok dan menyuapkan puding pada Randai. "Makan dulu nih... aaa..."
Randai pun menyantap suapan dari Devon tersebut. Seiring dia tersenyum sambil mengunyah pudingnya. "Gimana? Enak gak?"
"Enak kak" jawab Randai.
"Nah... berarti gak sia-sia kak Dave bawain puding ini buat kamu!" jawab Devon.
"Kak Dave?" ulang Randai tak percaya.
"Loh, kenapa? Gak boleh?"
Randai tersenyum seketika kemudian tertawa kecil.
"Buka lagi mulutnya!" pinta Devon dengan sesendok potongan puding di tangan kanannya.
Randai pun membuka mulutnya lalu menyantap lagi puding dari Devon tersebut.
"Jadi gimana nih? Kapan siap operasi plastik?" tanya Devon sedikit berhati-hati.
Randai sambil mengunyah, mengangkat bahunya. "Gak tau, kak!"
"Loh, kok gak tau sih? Emangnya kamu gak mau, wajah kamu ganteng lagi kayak dulu?"
Randai hanya terdiam sambil tertawa kecil. "Wajah ganteng tapi gak punya hati buat apa dong, kak?"
Devon tertegun sejenak. Lalu menaruh sendoknya di atas piring kecil tersebut. "Maafin Stefan ya... dia kan masih belum terlalu ngerti. Masih labil"
"Dia cuman cinta sama kak Dave itu bukan suatu kelabilan menurut aku, kak! Itu fakta juga masalahnya. Solusinya... aku harus mundur!" jawab Randai lembut.
Devon terdiam seketika, memandangi dan memahami emosional Randai yang baru kali ini dilihatnya. Wajar. Randai juga manusia dan punya hati. Dia berhak untuk kecewa dan marah. Terlebih di kala kondisinya seperti ini. Selama ini dia hanya bisa pasrah, sabar dan mengalah. Tanpa pernah memikirkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
"Ditambah sekarang wajahku kayak gini, Stefan pasti makin jijik sama aku, kak!" ujar Randai.
"Kamu jangan bilang begitu..." ujar Devon. "Justru kamu tuh harus semangat, Dai! Orang sebaik kamu, akan mendapatkan orang yang jauh lebih baik juga!"
Randai memejamkan matanya seketika. Dia mencoba untuk menata emosinya.
"Kak Dave doakan... semoga kamu kelak akan mendapatkan kebahagiaan kamu sendiri. Menemukan orang yang terbaik buat kamu. Yang juga mencintai dan menerima segala kebaikan dan keburukan kamu, Dai!"
Randai tertegun seketika. Dia menghembuskan napasnya kemudian mengangguk mantap.
Devon pun ikut senang dalam hatinya.
"Kak Dave..."
"Ya, Randai?"
Randai terdiam melamati wajah Devon penuh arti. Dia sudah yakin dengan keputusannya dan mantap untuk di lontarkan pada Devon. "Aku ikhlas... dan terima... Stefan untuk kak Devon, pamannya"
Devon tersenyum seketika mendengarnya. Dia menitihkan air matanya penuh haru pada Randai. Kemudian dia turut memeluk Randai dengan erat.
Randai menangis bahagia dalam pelukan itu.
Dalam eratan pelukannya, Devon berujar, "Makasih Randai... makasih... terima kasih banyak"
Randai tersenyum dan mengangguk.
TO BE CONTINUED...
MENUJU DUA CHAPTER TERAKHIR...
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES SEASON 2 (END 21+)
Teen FictionCerita ini mengandung unsur LGBT. Homphobic, please start to out, thanks. Stefan atau memiliki panggilan sayangnya, Epan, lelaki berusia 18 tahun itu kini tengah mencoba menata kehidupannya dengan baik, berdua bersama Devon, atau panggilan sayangnya...