"Iiihhh, ngapain sih nyium-nyium mulu? Gak sopan tau! Ini di angkot!" omel Stefan pada Kyle.
Sedang Kyle tersenyum manis pada Stefan. "Wajah lu ngegemeshin tau gak!"
"Gemas gemos! Sadar tempat, dong!" ujar Stefan.
"Gak bisa! Gak ketahan!" jawab Kyle.
Stefan memutar bola matanya. "Ini... kita mau kemana sih?" tanya Stefan. "Lo gak lagi berusaha nyulik gue kan?"
"Eh, kalau gue mau nyulik. Gue udah masukin lu ke mobil jeep, bukan angkot kayak gini!" cetus Kyle.
Stefan mendengus sebal.
"Kiri, Mang!" cetus Kyle, kemudian ia dan Stefan turun dari mobil angkot tersebut.
Stefan mengamati segala pemandangan yang ada, perkebunan teh, pedagang mainan, jagung bakar dan juga beberapa kedai kecil. Stefan sadar bahwa dirinya kini sedang ada di daerah puncak, Bogor.
"Bagus kan destinasi dari gue?" tanya Kyle.
"Gak begitu buruk" ujar Stefan berbohong, walau sebenarnya dia belum pernah ke perkebunan teh seperti ini.
"Ayo!" ajak Kyle pada Stefan. Mereka pun memasuki area perkebunan teh dengan seiras.
"Lu ini ada-ada aja, ngajakin bolos kok ke kebun teh? Mau ngapain, coba?" tanya Stefan.
"Kan biar romantis dong!" ujar Kyle.
"Romantis apaan, ini sih penghematan namanya!" ujar Stefan.
"Yee... emangnya Stefan yang manis ini mau apa sih???" tanya Kyle
Stefan berhenti melangkah. Lalu dia membuang napasnya kasar. Kemudian dia menutup matanya dan merentangkan kedua tangannya. Sesaat dia berkata, "Gue butuh udara segaaaaaaaarrrr!"
Kyle tertawa kecil melihat betapa lucunya lelaki satu ini. "Ini kan udah di udara bebas. Seger, lagi"
"Makanya itu gue bersyukur, lu nyulik gue kesini!" jawab Stefan.
Kyle tersenyum manis, "Gue juga bersyukur, lu akhirnya mau gue culik!"
Stefan terdiam, salah tingkah.
Kyle memandang usil pada Stefan, "Kok pipinya merah?"
Stefan refleks memegang kedua wajahnya, "Enggaaaak"
"Bener kok. Kayak udang goreng" ledek Kyle.
"Udah ah, jalan ah!" jelas Stefan.
"Siap" ujar Kyle sambil menghabiskan tawanya.
Stefan dan Kyle menelusuri jalan pematang yang ditiap sisi kanan dan kirinya dipenuhi oleh pohon teh yang mengakar ke penjuru jalan.
Tidak ada percakapan di antara keduanya kala itu. Hanya ada suara desis angin yang berembus, serta samar-samar suara petani teh yang sedang bertukar cakap dengan petani lainnya atau pengunjung.
Kemudian Stefan berhenti dan duduk di bawah pohon kersen besar di dekat bukit ujung perkebunan. Disana terdapat tempat duduk yang terbuat dari rakitan bambu.
Stefan melipat kedua kakinya di atas tempat duduk itu, sambil memandangi perkebunan teh tersebut yang mulai berkabut. Dia menghela napas. "Lo pernah gak sih, Kyle? Terjebak dalam satu kesalahan yang... mungkin juga bisa jadi pembenaran"
Kyle menekuk alisnya, "Maksud lo?"
Stefan diam. Memilih untuk tidak berkata-kata.
"Gimana gimana? Gue gak mudeng!" ujar Kyle lagi.
Stefan mendongak ke arah wajah Kyle yang tampan itu. Ditatap matanya sejenak. Dia tidak menemukan keteduhan untuk saat ini. "Percuma lah. Cowok berandalan kayak lu mana bisa ngerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES SEASON 2 (END 21+)
Teen FictionCerita ini mengandung unsur LGBT. Homphobic, please start to out, thanks. Stefan atau memiliki panggilan sayangnya, Epan, lelaki berusia 18 tahun itu kini tengah mencoba menata kehidupannya dengan baik, berdua bersama Devon, atau panggilan sayangnya...