"Kematiannya membuatku sadar akan kesalahan yang aku perbuat."
***
Pagi ini Kirana lalui seperti pagi-pagi sebelumnya, wanita berumur 30 tahunan itu menghabiskan sarapan sepotong roti dengan suaminya.
"Mas, kamu hari ini ada sedikit waktu tidak?" tanya Kirana dengan hati-hati.
"Kurang tahu. Emangnya kenapa?" tanya balik suaminya.
"Kita sudah hampir satu tahun nggak main ke rumah Azna," jawab Kirana sembari mengoles selai kacang pada roti.
Fernando menatap Kirana sengit, ia sungguh membenci anak dari Kirana dengan perselingkuhannya itu.
"Kamu saja sana, dia anak kamu, bukan anak aku," ujar Fernando, tangannya terulur mengambil tas di atas meja.
Pria tersebut pergi meninggalkan meja makan, padahal ia belum sama sekali menyentuh roti yang disuguhkan sang istri.
Kirana menatap sendu suaminya, dulu kehidupan ia tak seperti ini. Ia sungguh menyesali segalanya.
"Maafin Bunda sayang, karena Bunda kamu jadi mengalami ini semua," batin Kirana.
Andai saja dulu dia memilih menurut, mungkin sekarang ia dikaruniai seorang anak darah daging suami yang menikahinya sah secara agama maupun negara.
Andai dulu ia tak mengatakan bahwa Azna bukan Anak kandung dari suaminya, mungkin anak semata wayangnya akan diperlakukan penuh kasih sayang seperti dulu.
Ini semua memang kesalahan Kirana, wanita itu mengakui semua kesalahan yang ia lakukan, hingga berimbas pada anak perempuannya.
Ia tahu, anak satu-satunya itu pasti merasa sedih, tapi ia juga bingung harus bagaimana.
Jika waktu bisa diputar, Kirana tidak akan pernah mau mengatakan tentang kenyataan pahit ini demi sang anak.
"Walaupun kamu tidak pernah Bunda urus, tapi Bunda sayang kamu, Nak." Kirana mengambil satu bingkai foto, terdapat foto Azna didalamnya.
Mengusap kepala foto tersebut dengan sayang, seolah sedang mengusap kepala putrinya.
"Bunda yakin, Ayah kamu walau seperti itu, tapi tetap ada rasa sayang untukmu. Bunda yakin," ujar Kirana, ia meneteskan air mata kesedihan.
Hatinya sungguh perih, ia dilema. Memikirkan nasib sang anak dengan rumah tangganya yang diujung tanduk.
*****
Seperti biasanya, Kirana akan menghabiskan waktu untuk berada di kantor. Ia bekerja untuk membiayai Azna. Baginya Azna adalah segalanya.
Ia begitu takut jika gadis itu tidak memiliki uang. Apalagi sekarang gadis kecil yang sudah beranjak dewasa itu memilih tinggal berpisah dengannya.
Ia tahu, selama ini Azna menginginkan seorang Ibu yang selalu memperhatikannya, bukan Ibu yang banting tulang demi pekerjaan seperti sekarang.
Namun, apa boleh buat. Ini semua Kirana lakukan untuk anaknya, ia takut anaknya tidak berkecukupan seperti anak lainnya.
Kirana menatap kota dari atas gedung, tepat dimana ruangannya berada. Ia menatap dari jendela keluar, kendaraan terlihat padat di jalan raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Fine (END)
Teen FictionShakira Azna Mutiara gadis ceroboh, heboh, cerewet, lebay, ceria, ralat, ceria hanya untuk menutupi kesedihannya. Pintar merupakan sebuah kelebihan bagi dirinya. Mungkin ia tidak senang dengan kepintaran yang ia miliki, bukan mungkin itu memang pas...