Anaz melangkah cepat menuju kelas yang ia tempati selama hampir satu tahun ini untuk menimba ilmu.
Cowok dengan tatanan rambut disisir kebelakang ini sudah lengkap dengan pakaian berwarna putih abu-abu yang diselimuti jaket berwarna dongker.
Sesekali tersenyum ramah pada setiap orang yang menyapa dengan tak kalah ramahnya.
Mendudukan diri pada kursi yang sama setiap hari, melepas jaket lalu menyimpannya pada laci meja.
Begitulah setiap pagi yang Anaz lewati di sekolah.
Cowok tersebut menatap sekeliling kelas, masih lumayan sepi. Terbukti dari ketiga temannya yang belum juga datang.
Cowok satu ini memang sering datang lebih awal, bukan tanpa alasan. Hanya saja kadang harus menyelesaikan pekerjaan tambahan yang di perintahkan oleh guru.
Menjadi bagian Osis membuat ia cukup dikenal oleh kalangan guru, tidak jarang sebagian guru mempercayai sebuah tugas untuknya
"Pagi," sapa Denis.
Anaz hanya bergumam sebagai jawaban, rasanya terlalu malas menjawabnya dengan kata-kata.
Ia masih sibuk dengan berbagai buku yang tergeletak di atas meja.
"Pelajaran belum juga dimulai, udah penuh aja meja lo," sindir Arshaq.
"Orang kelewatan pinter," sindir Denis tak mau kalah.
Anaz menatap keduanya sebentar, lalu kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena ulah mereka.
Membicarakan perihal inipun sama sekali tak menggugah hati mereka untuk membantu.
"Tugas apa lagi itu Naz?"
Itu suara Erik, Anaz hafal betul suara para teman karibnya, sudah dapat menebak walau tanpa melihat wajahnya.
"Biasa Osis, bentar lagi kelas dua belas 'kan purna," jelas Anaz.
Erik hanya manggut-manggut tanda mengerti.
Tidak adakah rasa kepekaan dalam diri mereka tentang betapa susahnya Anaz mengerjakan ini.
"Azna belum berangkat sekolah juga?" tanya Erik.
Anaz memandang wajah Erik sekejap. Sudah dapat ditebak gadis satu inibelum berangkat, jika sudah pasti akan ada di samping Anaz.
"Belum," jawaban Anaz singkat, padat, dan jelas.
Ketiga sahabat gesrek Anaz ini mengangguk tanda mengerti.
***
Meninggalkan kelas tepat bel istirahat berbunyi, mengenggam sebuah buku yang berisikan tugas-tugas untuk di serahkan kepada guru yang memerintah Anaz.
Bergegas menuju ruang Osis, tapi yang Anaz dapatkan adalah Pak Sobir sedang menatap lesu handphone-Nya.
"Pak," panggilnya.
Pak Sobir sama sekali tidak menghiraukannya.
"Permisi, Pak," panggil Anaz untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Fine (END)
Teen FictionShakira Azna Mutiara gadis ceroboh, heboh, cerewet, lebay, ceria, ralat, ceria hanya untuk menutupi kesedihannya. Pintar merupakan sebuah kelebihan bagi dirinya. Mungkin ia tidak senang dengan kepintaran yang ia miliki, bukan mungkin itu memang pas...